MigasReview, Jakarta – Menemukan cadangan minyak dan gas bumi, bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Tahap eksplorasi wajib dilakukan guna memastikan keberadaan cadangan terbukti. Namun, ternyata tidak semua investor mau melakukan tahap pengembangan meskipun sudah melakukan eksplorasi dan menemukan cadangan migas.
Kepala Divisi Pengendalian Program dan Anggaran, Bidang Pengendalian Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Benny Lubiantara mengilustrasikan, tahap-tahap yang harus dilakukan pada suatu lapangan yang diperkirakan mengandung cadangan migas kepada MigasReview.comdi kantornya beberapa waktu lalu.
Apa yang perlu dilakukan sebagai pelaku industri migas saat mendapatkan blok atau lapangan yang diperkirakan mengandung cadangan?
Pertama adalah tahap eksplorasi yang dimulai dengan data seismik yang didapatkan hingga ada prospek. Tapi, selama belum dibor, belum dapat dianggap ada cadangan. Dengan demikian, harus dibor dulu untuk menapat kepastian. Kita sering mendengar istilah dry hole, yaitu kalau ternyata begitu dibor ternyata kering, tidak ada migasnya. Perusahaan migas tidak kapok dan akan terus mencoba hingga ketemu. Untuk melakukan pengeboran selanjutnya, kita melakukan pemetaan ulang. Kalau pengeboran selanjutnya kosong kembali, data pemetaan harus terus di-update hingga pada saatnya membutuhkan data tambahan.
Diharapkan, dengan data bor yang tadi dry hole akan dipetakan lagi untuk menentukan titik pengeboran selanjutnya. Itupun masih belum tentu juga ditemukan cadangannya. Tentunya, bagi perusahaan migas, setelah beberapa kali mengebor namun tidak juga menemukan cadangan, mereka akan melihat tingkat kemampuan finasial sendiri. Meskipun nantinya ketemu, mereka juga akan menghitung batas nilai keekonomiannya. Istilahnya, worth it atau tidak kalau dilakukan pengeboran sumur baru lagi untuk mencapai produksi yang ditargetkan dengan cadangan yang ada.
Biasanya butuh berapa kali pengeboran sampai ditemukan ada cadangan?
Ya tergantung. Memang tidak cukup hanya melakukan 1 kali pengeboran karena kalau hanya 1 sumur masih ada keraguan. Meskipun saat pengeboran ternyata ditemukan atau keluar minyak atau gasnya, dibutuhkan beberapa sumur lagi untuk menghitung cadangan yang ada di dalam perut bumi. Setelah perhitungan cadangan ditemukan, baru masuk ke tahap komersial, apakah akan dikembangkan atau tidak. Ini tergantung keekonomiannya. Pertimbangan keekonomian itu pasti memerlukan biaya.
Dalam pengeboran sumur tambahan, penentuan titik didapatkan dari hasil pemetaan yang tadi. Pertimbangan lain, misalnya, minyak agar keluar hingga ke mulut sumur diperlukan tekanan. Nah, ini bagaimana caranya agar pengeboran sumur tambahan tidak menurunkan tekanan tadi. Setelah ketemu cadangan, juga diperlukan platformuntuk lapangan offshore. Ada lagi proses pemisahan minyak mengingat dalam reservoirtersebut belum murni minyak, karena ada air dan campuran hidrokarbon lainnya.
Berapa batasan waktu yang diperlukan untuk eksplorasi?
Masa eksplorasi dalam kontrak biasanya berkisar 6-10 tahun, yang nantinya juga bisa diperpanjang. Perusahaan migas harus punya komitmen, mulai melakukan seismik, studi-studi geologi, dan asumsi-asumsi yang diperlukan untuk pengumpulan data. Di tahun-tahun pertama umumnya belum dilakukan pengeboran. Baru setelah ada data tadi, dilakukan pengeboran untuk memastikan cadangannya. Nah, komitmen tadi harus dijadwalkan. Komitmen untuk survei berapa lama, lalu komitmen melakukan pengeboran.
Makanya, belum lama ini Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini mengungkapkan ada 18 WK (Wilayah Kerja) dikembalikan atau diterminasi karena tidak memenuhi komitmen. Kalau tidak ada komitmen, WK itu takutnya dijual lagi. Sehingga, kalau perusahaan migas melakukan sesuai dengan komitmen tadi, setelah tahun ke-6 seharusnya sudah bisa menentukan ada tidak tuh barang. Atau, paling lama tambah lagi sekitar 2 tahun dan waktu maksimal hingga 10 tahun.
Tapi ini harus diperpanjang atau dilaporkan setiap tahunnya sebelum batas maksimal. Kalau sampai batas waktu itu juga tidak ada pengembangan, ya dikembalikan. Makanya, kalau mau rata-rata lamanya masa eksplorasi, selama perusahaan migas melakukan komitmen, ya butuh 6 tahun. Namun, kadang-kadang memerlukan waktu 10 tahun pun bukan berarti tidak ada komitmen. Kadang-kadang sudah ditemukan cadangan itu, tapi belum ada keyakinan untuk dikembangkan.
Kenapa bisa begitu?
Tahap selanjutnya setelah eksplorasi adalah tahap pengembangan atau (plan of development/POD). Meski sudah masuk pada batas waktu eksplorasi yang 10 tahun tadi, tapi masih ada pertimbangan untuk maju ke tahap pengembangan. Harus ada nilai keekonomiannya. Agar bisa terhitung nilai keekonomiannya, diperlukan pengeboran lagi karena belum cukup konklusif data-data pendukung lainnya agar bisa dikembangkan. Sehingga, kasus-kasus permintaan perpanjangan masa eksplorasi sebenarnya adalah untuk mencari informasi lagi agar lebih yakin dengan nilai keekonomiannya kalau mau dilakukan pengembangan. Tapi, memang sering terjadi, lapangan-lapangan yang cadangannya diasumsikan misalnya 100, begitu dilakukan pengeboran lagi dan disiapkan program, ternyata hanya ditemukan 50. Akibatnya, secara konsep pengembangan, ini sebenarnya sudah rugi dua kali karena persiapan dana terhitung dengan kondisi cadangan yang 100 tadi, tapi hanya ditemukan setengahnya.
Pertimbangan apa saja yang bisa memastikan untuk melanjutkan ke tahap pengembangan?
Pengembangan lapangan di semua negara pasti ada dan harus disetujui oleh regulator dan ada yang badannya di rangkap, misalnya Petronas. Bagi investor, yang dilihat adalah internal rate of return (IRR). Bagi badan pengawasnya, yang dilihat adalah berapa bagian pemerintah supaya tidak kecil. Kalau kecil, ya tidak perlu dikembangkan. Perlu dipahami bahwa benar yang kerja di perusahaan migas asing ada orang Indonesia juga. Tapi orang Indonesia itu, meski dalam posisi sebagai bos-bosnya, mereka tidak terlibat dalam mengambil keputusan. Jadi pekerjaan mereka menghitung pipa, menghitung cadangan, dan teknis lainnya.
Tapi ketika mengambil risiko, investment decision adalah bagian manajemen, yaitu orang bule-itu. Inilah yang kita tidak punya ilmunya. Dalam arti, kita perlu jam terbang. Kalau engineer, ahli geologi kita mampu menghitungnya. Tapi bagaimana me-manage risk, itu yang kita tidak pernah diajari dan tidak pernah diberi kesempatan. Padahal di situ ilmu migas sebenarnya, bagaimana me-manage risk, memproyeksikan proyek arahnya mau dibawa kemana atau dikembangkan. Karena belum tentu konsep pengembangan lapangan migas memiliki perencanaan dan perhitungan yang sama.
Setiap orang pasti berbeda-beda. Bagi yang sudah memiliki jam terbang, masalah biaya pasti jatuhnya murah. Bukan hanya sekadar menggaji karyawannya. Tapi kalau perencanaan tidak matang, misalnya terjadi delay yang pada akhirnya memakan waktu dan biaya, hitungannya bisa mahal. Hal yang seperti ini yang membutuhkan transisi agar orang Indonesia bisa diajari. Sehingga, meski mereka berada di posisi high level, tapi hanya administratif untuk meng'goal'kan apa yang diinginkan investor dari International Oil Company (IOC). Di sini yang harus pintar.
Kita bisa dipermainkankan kalau tidak pintar-pintar?
Di sini (Indonesia) kalau kita salah, itu karena ketidaktahuan atau kalah ilmunya, sehingga tidak tahu mana yang optimum. Bisa saja terjadi perusahaan migas membuat konsep pengembangan yang lebih mahal, padahal ada opsi lain dengan hasil yang sama dengan biaya yang murah. SKK Migas harus terdiri atas orang-orang yang pandai sehingga kalau investor datang, kita tidak bisa disetir. Kita bisa berdebat. Nah, kalau dulu sering kalah akibat bahasa dan jam terbang yang masih rendah. Ini yang harus diperbaiki.
(anovianti muharti)