Melanjutkan Bisnis Hulu Migas Nasional

Awal pergantian tahun 2018 ini ditandai dengan milestone yang cukup penting bagi dunia hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia, karena lapangan gas terbesar di wilayah kerja Blok Mahakam, yang dioperasikan oleh Total E&P Indonesie (TEPI), berakhir sudah masa kontraknya dengan Pemerintah Indonesia.

Pengelolaan blok ini selanjutnya diserahkan kepada Pertamina Hulu Mahakam, sebagai perusahaan negara, anak/cucu perusahaan PT Pertamina (Persero), dengan saham (participating interest/PI) 100% diserahkan sepenuhnya kepada Pertamina. Kemudian Pertamina akan berbagi PI 10% dengan BUMD di Kalimantan Timur.

Pengalih-kelolaan blok yang pada awalnya cukup alot, karena masih ada keinginan kontraktor lama ikut mengelolanya, akhirnya berjalan dengan lancar.

Kesuksesan peralihan operatorship ini setidaknya akan berdampak positif pada keberlanjutan operasi belasan wilayah kerja yang lain yang juga akan berakhir masa kontraknya dalam lima tahun kedepan.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 15 tahun 2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Yang Akan Berakhir Masa Kontrak Kerja Samanya sebenarnya telah jelas mengatur tentang kelanjutan operasi minyak dan gas bumi (migas) setelah wilayah kerja para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) habis masa kontraknya dengan pemerintah Indonesia.

Dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa pengalihan pengelolaan itu dapat diserahkan langsung kepada PT Pertamina (Persero); diberikan perpanjangan kontrak kerja sama oleh Kontraktor; atau pengelolaan secara bersama antara Pertamina dan Kontraktor. Di sinilah inti diskusi dan negosiasinya, karena kontraktor lama masih diberi kesempatan untuk dapat melanjutkan operasi dan bisnisnya di wilayah kerja yang berakhir masa kontraknya tersebut.

Apa sebetulnya yang menarik di dalam bisnis hulu migas ini, sehingga Pemerintah harus terlebih dahulu menawarkan wilayah kerja yang berakhir masa kontraknya ini kepada Pertamina, sebagai perusahaan negara, untuk melanjutkan pengelolaannya?

Pertama, operasi hulu migas adalah ladang pertaruhan investasi dan pendapatan yang penuh risiko tetapi dapat menghasilkan pendapatan (gain) yang luar biasa berlipat. Dan, untuk wilayah kerja yang sudah berproduksi akan memiliki tingkat risiko yang lebih rendah dengan pendapatan yang lebih pasti, jika dibandingkan dengan wilayah kerja eksplorasi.

Artinya, minyak dan gas sudah jelas ada di wilayah itu. Tinggal bagaimana kontraktor dapat memproduksikannya dengan efektif dan efisien sehingga mendatangkan keuntungan yang maksimal. Dengan perkembangan pengetahuan, teknologi dan inovasi di bidang perminyakan yang tidak kunjung berhenti, akan selalu ada peluang untuk meraih sukses dan keuntungan dari keberadaan migas yang terpendam di bawah bumi sana meski sudah lama diproduksikan.

Dinamika “gain or loss” yang selalu menyertai operasi untuk menggali keberadaan migas yang tak tampak oleh mata malah menjadikannya bisnis ini selalu menarik bagi investor.

Kedua, migas bukan lagi sebagai komoditi saja, tetapi sudah merupakan barang penggerak ekonomi dan pembangunan, bahkan memiliki nilai strategis pertahanan negara. Dengan serangkaian kegiatan yang terlibat pada sektor hulu migas, beberapa kegiatan lain akan terciptrat keuntungannya. Inilah yang disebut dengan multiplier effects bisnis hulu migas yang sangat signifikan magnitude-nya, dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama jika dibandingkan bisnis lainnya.

Ketiga, jika tata kelola kegiatan hulu migas berjalan baik, maka kebutuhan terhadap energi fosil yang banyak menfaatnya bagi hajat hidup orang banyak ini dapat terpenuhi dalam jangka waktu yang lama. Kemandirian bidang energi menjadi sangat penting untuk memperkuat posisi negara di tengah meningkatnya kebutuhan energi dunia masa kini dan di masa depan dengan sumberdaya yang makin menipis.


Perlu Keberpihakan

Ketiga faktor itulah yang harus dilihat manakala kebijakan melanjutkan operasi hulu migas di Indonesia diterapkan. Permen ESDM di atas telah cukup mengatur peralihan pengelolaan (operatorship) dari pemegang kontrak yang lama kepada pemegang kontrak yang baru.

Namun lagi-lagi kehadiran dan keberpihakan pemerintah diperlukan ketika Pertamina, sesuai Permen ESDM tersebut, sebagai perusahaan negara, menerima mandat untuk melanjutkan operasi (sebagai Kontraktor baru) pada suatu wilayah kerja yang berakhir kontraknya.

Jangan sampai terjadi masalah pada penyerahan data dan informasi, pengalihan tenaga kerja, kelanjutan kontrak-kontrak dengan para vendor, kelanjutan proyek-proyek yang sedang berjalan, pelaksanaan program K3LL (keselamatan dan kesehatan kerja dan lindung lingkungan), dan lain-lain.

Pertamina seharusnya diberi keleluasaan untuk melakukan due diligence secara komprehensif jauh sebelum masa kontrak berakhir sehingga tidak juga menjadi “tempat sampah” bagi wilayah kerja yang memang sudah tidak produktif.

Jika Permen ESDM ini dijalankan dengan keberpihakan pada perusahaan negara, sudah barang tentu Pertamina akan memiliki asset yang bertambah besar nilai (vualuasi)nya. Banyak hal yang harus diselesaikan dalam sepuluh tahun mendatang, pada saat beberapa KKKS besar mengakhiri masa kontraknya dengan Pemerintah Indonesia. Maka, baik Pertamina maupun Pemerinah seharusnya membuat langkah strategis dan tindak lanjut yang efektif agar pengalih-kelolaan ini dapat berjalan sukses.


Tindak Lanjut

Hal yang harus dilakukan pertama kali, setelah Pertamina melakukan due diligence, sebelum mengajukan rencana kerja dan anggaran kepada Pemerintah, adalah melakukan langkah prioritasi.

Beberapa wilayah kerja Pertamina yang yang tersebar di berbagai wilayah dengan puluhan ribu sumur yang sudah dibor perlu dievaluasi dan dibandingkan dengan potensi pada area kerja yang akan berakhir masa kontraknya tersebut. Wilayah kerja mana yang masih menjanjikan menyimpan cadangan dan produksi migas yang ekonomis harus segera diidentifikasikan.

Dengan demikian, besarnya aset plus potensinya dan risiko yang ada dapat dipetakan dengan lebih seksama. Langkah selanjutnya adalah Pertamina melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah dan/atau swasta nasional untuk dapat mengelola asset yang semakin bertambah dengan lebih efektif dan efisien.

Program Kerjasama Operasi (KSO) yang selama ini dijalankan Pertamina dapat diteruskan dengan pengendalian yang lebih baik. Pemangkasan birokrasi mesti dilakukan. Desentralisasi sistem pengelolaan aset dengan lebih transparan segera diterapkan. Pemberdayaan orang-orang setempat (yang bertempat tinggal di sekitar daerah operasi) lebih dilibatkan.Melalui in-house training dan coaching Pertamina,perusahaan daerah diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan kinerjanya.

Pekerja Pertamina dapat mewariskan pengalaman dan pengetahuan pada generasi muda di daerah. Dengan demikian tidak ada kegamangan perusahaan nasional untuk dapat dengan cepat mengalihkan pengelolaan assetnya ke perusahaan daerah dan swasta nasional yang terseleksi dengan baik melalui KSO atau dalam bentuk lain di bawah pengawasan Kementrian ESDM, BUMN, dan Keuangan.

Jika kerjasama dan alih kelola itu terjadi dengan baik, maka Pertamina, sebagai perusahaan nasional, dapat lebih difokuskan untuk menangani wilayah kerja yang besar peninggalan KKKS multinasional dan mengelola asset yang kian tumbuh di luar negeri. \

Dengan jumlah lulusan perguruan tinggi yang sudah demikian banyak sekarang ini, dan teknologi yang mudah didapatkan di pasaran, serta dukungan finansial di pasar modal maupun dari beberapa perusahaan keuangan yang terus tumbuh dan transparan, maka bukan tidak mungkin desentralisasi pengelolalaan asset sektor hulu migas ini akan cepat mendorong kenaikan produksi migas nasional dengan ongkos produksi yang lebih efisien.

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di luar negeri dapat ditingkatkan dengan upaya dapat membawa hasil produksi migas dari negara-negara tersebut ke kilang-kilang kita, atau pabrik petrokimia dalam negeri, yang membutuhkan bahan baku (feed stock) untuk jangka panjang. Yang dibutuhkan adalah penyatuan kegiatan hulu dan hilir dalam berinvestasi di suatu negara agar diperoleh hasil yang maksimal.

Pemerintah pun harus menggandeng institusi dan/atau perusahaan yang terkait dengan kegiatan Pertamina di luar negeri, seperti bank nasional, perusahaan konstruksi, telekomunikasi, petrokimia, dan lain-lain.

Inilah impian “Indonesia incorporated” untuk berlaga di dunia internasional yang telah lama digaungkan namun belum juga dapat direalisasikan.

Semoga dengan mengambil momentum yang baik dari peralihan pengelolaan bisnis hulu migas ini impian tersebut akan segera terwujud.

Salis S. Aprilian, Ph.D.
SPE Director, South Asia & The Pacific Region 2015-2017

sumber: http://www.migasreview.com/post/1514860321/melanjutkan-bisnis-hulu-migas-nasional.html

Kabar Pabrik Gunung Mas

sy baru mengetahui bahwa pabrik teh di Gunung Mas sudah tidak lagi beroperasi (berproduksi) sejak 2013, namun teh dr kebunnya dipindah (diproduksi/diolah) ke pabrik di daerah Cianjur. hal ini membuat sy penasaran, kenapa 'ditutup'? padahal, menurut sy, apabila ingin dijadikan agro wisata setidaknya pabrik tersebut bisa menjadi semacam museum atau peraga utk edukasi bagaimana teh diolah, meskipun teknologinya (apabila ini alasannya) konvensional.
"alat (mesin) sudah tidak ada, beberapa dibawa ke Bandung," ujar Yanti, seorang QC (quality control) teh yg telah lama bekerja sejak dirinya usia gadis dan kini 2 anaknya sedang menimba ilmu dijenjang perguruan tinggi (alias kuliah). beruntung sy bertemu dgn ibu Yanti, karena beliau paham sekali dengan kualitas teh, hingga sy mendapatkan ilmu cara menyajikan teh (yg benar).

"teh jangan diseduh dengan air mendidih, kecuali teh hitam (black tea) karena masih ada kandungan caffein (sekitar 1 persen)," katanya. dan penyajian teh disarankan tidak ditambah apapun (seperti gula, krim, susu atau tambahan lainnya), "karena itu sama saja menghilangkan khasiat dari teh," lanjut Yanti.

Pabrik ini memiliki kapasitas produksi 40 ton (berat basah), "hasil akhirnya (setelah diolah) sekitar 4,8 persen, ya sekitar 8 ton (berat kering)," terang Yanti sambil memperlihatkan alur atau proses teh diproduksi meskipun hny dlm bentuk bagan (gambar). memang sayang, tidak bisa melihat ilustrasi atau visual gerak untuk menjelaskan proses tersebut.

sama dgn sy, ibu Yanti jg berharap pabrik ini bisa menjadi sarana edukasi, memang sempat terdengar wacana mau diapakan pabrik Gunung Mas yg merupakan milik PTPN VIII ini, namun dr 2013 hingga saat ini... entah mau diapakan? yang pasti sy maupun ibu Yanti memiliki dan mengalami 'sejarah' yg hampir sama, krn semasa sy muda (iya, sy pernah muda ðŸ˜…) sering sekali tea walk ataupun sekedar refreshing di lingkungan Gunung Mas.

Revolusi Energi atau Mati

SIAPA pun yang memerintah di Indonesia harus menghadapi krisis produksi bahan bakar minyak yang terus menurun, beban impor minyak dan subsidi bahan bakar minyak yang mencapai Rp 63 triliun per tahun. Revolusi politik energi nasional adalah jawaban dengan cara memanfaatkan deposit gas bumi dan batu bara Indonesia yang lebih murah dan tersedia melimpah hingga sekurangnya dua abad mendatang. 

Pengamat perminyakan Bachrawi Sanusi mengakui produksi minyak Indonesia mengalami krisis karena tidak mampu memasok kebutuhan dalam negeri hingga Indonesia harus jadi importir dalam empat tahun terakhir. Untuk saat ini kelangsungan industri minyak masih sangat dibutuhkan sebab belum ada alternatif pengganti. 

"Produksi minyak kita turun pada kisaran satu juta barrel per hari, sementara kebutuhan mencapai 1,3 juta barrel per hari. Produksi yang minim itu pun belum dikurangi dengan bagian dari Kontraktor Bagi Hasil asing yang menjadi rekanan Pertamina," kata Bachrawi. "Kondisi ini merupakan blunder kebijakan tahun 1980-an karena kita tidak melakukan konservasi dan diversifikasi energi." 

Situasi makin parah tatkala pemerintah bersama DPR justru melemahkan posisi penerimaan negara dari minyak dan gas bumi dengan pembentukan BP-Migas. Praktis, kegiatan ekspor migas yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung devisa kini tidak mampu mendongkrak kurs rupiah. Seharusnya pemerintah memperbaiki UU Nomor 8 Tahun 1971 dan bukan membuat aturan baru yang sama sekali memangkas kewenangan Pertamina sebagai BUMN 

DALAM tatanan global pun Indonesia sebagai anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak OPEC terbukti kerap kali menderita kerugian akibat kebijakan organisasi itu. Bachrawi mengatakan OPEC senantiasa menjatah kuota secara merata tanpa menggunakan hitungan pendapatan per kapita. Kebijakan itu sangat menguntungkan Arab Saudi dan Kuwait yang berpenduduk sedikit. Negara berpenduduk besar seperti Indonesia sebaliknya sangat dirugikan. 

Dalam perkembangan zaman, terlihat betapa kontribusi produk seluruh anggota OPEC tidak signifikan karena hanya mencapai 30 persen dari keseluruhan produksi minyak dunia. Sementara itu, Malaysia dan Brunei sebagai negara produsen minyak mampu menata kebijakan migas secara mandiri tanpa terlibat sebagai anggota OPEC. 

Tumpulnya OPEC semakin tampak dalam gonjang-ganjing kenaikan harga minyak belakangan ini. Meski menambah produksi, mereka tidak dapat menekan harga dengan membanjiri pasar dengan pasokan minyak. 

Pasalnya, cadangan minyak negara industri maju anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) dapat digunakan selama 80 hari tanpa pasokan baru dari negara produsen minyak. Dengan kemampuan tersebut, mereka dapat mengatur permainan harga di pasar internasional. Sementara di dalam negeri, para kontraktor bagi hasil Pertamina juga dapat menjadi spekulan karena keleluasaan yang diberikan UU Migas yang baru. 

Fluktuasi harga minyak mentah pun, menurut Bachrawi, dapat melampaui angka 50 dollar AS per barrel. Para spekulan dan negara industri maju memiliki kekuatan dominan dalam memengaruhi pasar melampaui posisi negara produsen. 

Sejarah telah mencatat sebelum Perang Arab Israel 1973 harga minyak berada di bawah 2,5 dolar AS per barrel. Namun, sesudah pecah perang harga melambung tinggi hingga sepuluh kali lipat dan terus berkisar di atas belasan dan puluhan dollar per barrel. 

Harga jual tinggi menjadi berkah bagi negara tertentu, seperti Inggris dan Norwegia, karena memungkinkan mereka melakukan eksplorasi di laut dalam yang sebelumnya tergolong tidak ekonomis saat kisaran harga jual di bawah 2,5 dollar AS per barrel. Kala itu biaya produksi minyak laut dalam mencapai 5 dollar AS per barrel. 

Perlahan tetapi pasti, negara industri maju menjadi penentu fluktuasi harga. Bahkan, kini di saat negara produsen mulai mengalami penurunan produksi seperti Indonesia, mereka masih memiliki cadangan melimpah dan menjadi penentu harga. 

Lingkaran setan ini akan semakin membelit Indonesia, yang semula bertindak sebagai produsen kini harus beralih fungsi menjadi konsumen. Pertambahan subsidi demi subsidi terus menggelayuti keuangan negara akibat kebijakan sektor energi yang salah sasaran. 

KEBIJAKAN energi memang salah kaprah sejak semula. Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan murahnya harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia justru mendorong konsumsi tetap, bahkan meningkat. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki sensitivitas terhadap kelangsungan pasokan sumber energi yang tak dapat diperbaharui tersebut. 

"Pertumbuhan kendaraan bermotor semakin tidak terkendali. Kemacetan lalu lintas pun terjadi sehingga menghambat aktivitas perekonomian," kata Faisal. "Strategi harga seharusnya sudah mengacu pada harga dunia secara bertahap dan diimbangi penyediaan bahan bakar pengganti secara massal, terutama di sektor transportasi. Di pihak lain, pemerintah harus menyediakan sarana transportasi publik yang sangat memadai." 

Krisis energi jadi semakin parah dengan adanya kebijakan pemerintah dan DPR dalam undang-undang migas yang justru semakin memperburuk krisis sektor energi. Kurtubi, pengamat pertambangan dari Pertamina, menyatakan kebijakan tersebut menambah jalur birokrasi dalam penjualan minyak dan menguntungkan pihak ketiga: para perantara. Di saat sama BUMN seperti Pertamina lumpuh dan tidak mampu jadi faktor penentu kebijakan migas karena peran tersebut beralih ke BP-Migas dan para perantara perdagangan minyak. 

Kebijakan ini rawan terhadap praktik KKN dan sangat menguntungkan pihak ketiga. Mereka dengan leluasa dapat "menggoreng" harga komoditas dalam pasar komoditas berjangka dan pelbagai instrumen spekulasi lain. 

Lebih parah lagi adalah penarikan pajak bagi investor pada tahap eksplorasi. Di saat mereka belum memperoleh hasil, praktis pelbagai pungutan sudah membebani. Kebijakan ini sungguh tidak logis. Proses investasi pun mekar dari penanganan satu atap menjadi tiga atap. Bahkan hubungan yang semula berbentuk bisnis ke bisnis kini berubah menjadi bisnis ke pemerintah. 

Dampak dari kebijakan ini sangat terasa. Menurut Kurtubi, pada tahun 1998 masih ada 18 kontrak baru di bidang migas, tetapi dalam kurun 1999-2003 hanya terjadi satu atau dua kontrak baru. 

Situasi memang terlihat membaik pada tahun 2004 dengan tercatatnya 17 kontrak baru. Namun, perlu diingat, belum ada realisasi kontrak tersebut sama sekali. Bahkan kondisi terburuk adalah anomali bisnis sektor minyak. Biaya dalam bentuk dollar AS untuk administrasi dan pengelolaan minyak dan gas terus meningkat, tetapi hasilnya terus menurun. 

Lembaga terkait bisnis ini semakin membesar menambah tenaga kerja dan tidak efisien, sementara hasil produksi terus meluncur deras ke arah merugi. Rangkaian kesalahan kebijakan ini semakin terlihat jelas dengan tidak adanya peraturan pelaksana sebagai penjabaran UU Migas tersebut. 

Kurtubi menambahkan, bahkan jika produksi minyak kita dalam keadaan normal, kapasitas kilang kita tidak mampu memenuhi kebutuhan harian dalam negeri. Kapasitas seluruh kilang Indonesia hanya mampu mencukupi 75-80 persen kebutuhan. 

Harga melambung, produksi menyusut, inefisiensi kelembagaan, dan regulasi, serta kapasitas produksi di bawah kebutuhan merupakan cermin industri minyak nasional. Minyak bumi bukan lagi primadona negeri ini, bahkan justru menjadi beban. Pemerintah tampak tidak memiliki acuan kebijakan energi pascaminyak. Patutlah kita berkaca pada pemerintah Thailand: betapa mereka mampu mengatur pertumbuhan perekonomian meski 40 persen anggaran negara tersedot untuk sektor energi. 

JALAN keluar utama krisis ini, menurut Faisal Basri, seharusnya dengan menggeser ke sumber yang lebih murah dan tersedia melimpah seperti gas dan batu bara. Sebagai bukti keberhasilan kebijakan perubahan pemanfaatan energi adalah pemerintah Tiongkok. Mereka mengonversi pemakaian minyak dan batu bara dengan gas. 

Gas bumi lebih murah dan ramah lingkungan serta meningkatkan kemampuan kompetisi industri mereka. Produk industri di Tiongkok yang menggunakan gas sebagai bahan baku tentu memiliki harga jual lebih murah daripada produk industri di Indonesia yang menggunakan minyak bumi sebagai bahan bakar. Keadaan semakin ironis mengingat sebagian pasokan gas Tiongkok justru berasal dari Indonesia. 

Pergeseran energi akan memangkas subsidi Rp 63 triliun sehingga kita dapat berkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur, peningkatan indeks pembangunan manusia, dan indeks kesehatan, terutama di sektor pertanian, perkebunan, dan kelautan yang langsung menyentuh bagian terbesar rakyat Indonesia. 

Sementara Kurtubi mengatakan pergeseran energi tersebut harus jadi program nasional, tetapi subsidi bagi masyarakat terkecil untuk minyak tanah hendaknya tetap dipertahankan. Potensi minyak Indonesia sebetulnya masih luas, malah dapat jadi cadangan untuk pemasukan negara di masa mendatang. 

Langkah ini sangat mendesak mengingat negara industri seperti Amerika Serikat dan China telah melakukan pergeseran energi sejak dini. "Jangan selalu membandingkan keadaan dengan masa lalu yang konon lebih enak. Bandingkanlah Indonesia dengan negara lain saat ini demi memacu perbaikan keadaan," kata Faisal Basri. 

Persoalan kita tidak hanya lilitan utang luar negeri yang membebani 7 persen keuangan negara. Janganlah melupakan beban akibat utang dalam negeri yang mencapai 12 persen dari anggaran. Tak ketinggalan tentu, perburuan aset-aset para konglomerat hitam. 

Pemerintah harus mencari sektor ekonomi yang menjadi persinggungan aktivitas pertanian, UKM, masyarakat desa, nelayan, dan sektor informal. Sektor ini langsung menghasilkan perputaran uang untuk bagian terbesar masyarakat kita. 

Iklim investasi dan service delivery menjadi tantangan bagi pemerintah yang harus diatasi demi mencapai pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini, menurut Faisal Basri, adalah langkah konkret yang lebih berarti bila dibandingkan dengan retorika pemberantasan KKN. 

"Yang terpenting adalah menciptakan masa depan. Jangan kita selalu terpaku pada masa lalu saja. Pemerintahan baru harus menjelaskan visi dan menjabarkan dalam 100 hari pertama sebagai indikator perbaikan Indonesia," kata Faisal. 

Kompas (25 September 2004)