Ekonomi Setelah Merdeka (Bagian 1)

Mengapa setelah bangsa Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945 dengan adanya pergantian beberapa kali kepala negara dengan corak kebijakannya, khususnya dalam bidang ekonomi bahkan hingga sekarang justru keadaan ekonomi rakyat kecil makin terpuruk, bahkan sebenarnya lahirnya UUD 1945 tidak bisa lepas juga sebagai upaya agar bangsa Indonesia bukan hanya tidak lagi dijajah, juga mungkin termasuk tidak dijajah dalam bidang ekonomi/keuangan yang melibatkan utang luar negeri, tetapi yang penting bagaimana menciptakan agar segenap rakyat Indonesia bisa hidup makmur secara adil dan merata.

Justru setelah Orde Baru runtuh bukan hanya telah begitu banyaknya sumber daya alam terkuras dan makin menipis, terutama yang tidak dapat diperbaharui lagi seperti migas, juga hutang luar negeri pemerintah dan swasta lebih dari US$150 miliar. Walaupun demikian, mengapa investor asing mau menanam modalnya di Indonesia. Masalahnya sejak jaman penjajahan bumi Indonesia terkenal kaya akan aneka sumber daya alamnya yang bisa bermanfaat bagi pengembangan industri dan dunia perdagangan.

Tetapi setelah Orde Baru runtuh segala hasil pengurasan sumber daya alam plus jumlah hutang luar negeri terbesar tidak dimanfaatkan sesuai sasaran yang tepat, bahkan sebagian besar dari berbagai hasil pembangunan serta dana pembangunan banyak yang bocor yang mungkin masuk dalam putaran KKN pada masa reformasi.

Karena pergulatan elit politik makin tajam bahkan melibatkan banyak rakyat kecil yang tidak mempunyai lapangan kerja tetap dan tidak tahu soal politik akibatnya aneka rupa sumber dana yang masuk dalam kantong-kantong pelaku KKN seolah-olah tidak atau kurang mendapat perhatian. Malah yang semakin diperhatikan seperti pengemis yang meminta agar IMF, bank dunia atau lembaga-lembaga keuangan dunia mau segera memberi pinjaman serta segera mencairkannya.

Walaupun, jika saja pemerintah mau segera membersihkan segala kekayaan seluruh pejabat terutama pejabat BUMN yang masih saja aktif sejak masa Orde Baru hingga masa reformasi atau sudah lengser seluruh kekayaan anak beranaknya diusut termasuk juga pejabat sekarang, pasti hasilnya cukup besar. Masalahnya, memang pemerintah ingin mengambil langkah enaknya saja, apalagi terus bertengkar dengan wakil rakyat, bahkan pemerintah tidak segan-segan untuk menaikkan harga BBM.

Tentu saja segala penataan ekonomi selama ini memang sudah salah arah dan seolah-olah sudah salah memanfaatkan teori ekonomi apa yang harus dilaksanakan Indonesia. Masalahnya memang sudah sejak lama para ahli dunia sudah banyak yang menyoroti soal kehidupan perekonomian Indonesia.

Misalnya pada 1930, ketika Prof. JH Boeke berpidato waktu dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Leiden, dia menyatakan antara lain

“Dimana tak terdapat suatu kesatuan…serta hubungan seperti halnya dibanyak negara lain yang kapitalis, bahkan modern…dimana terdapat jurang lebar, tajam dan dalam dalam memecah masyarakat dalam dua bagian, di situlah terdapat berbagai masalah ekonomi dan sosial yang memperlihatkan wajah yang baru sama sekali dan teori ekonomi Barat kehilangan hubungannya dengan kenyataannya, maka berarti hilang pulalah nilainya”.

Adapun maksud dari Prof. Boeke, bahwa perekonomian Indonesia masih berbeda cukup jelas dari negara-negara Barat pada waktu itu, bahkan katanya perekonomian Indonesia berbeda dengan negara berkembang lainnya, dalam banyak sifat-sifat penting. Itu kata Prof. Boeke dahulu, bahkan sekarangpun perekonomian Indonesia sangat berbeda dengan banyak negara berkembang lainnya, walau diakui oleh banyak ahli, bahwa perekonomian Indonesia telah banyak berubah sejak 1930.

Sama halnya perubahan-perubahan yang terjadi banyak negara di dunia, bahkan ilmu ekonomi pun telah berubah setelah muncul sebuah buku yang berjudul The General of Theory of Employment, Interest and Money yang ditulis oleh John Maynard Keynes pada 1936.

Begitu banyaknya perubahan berbagai teori ekonomi di banyak negara, yang pasti setiap negara apalagi negara kuat dan besar pada akhirnya juga selalu ingin merebut suatu kekuatan ekonomi dan moneter seperti halnya Amerika Serikat, walau harus ditunjang dengan cara perang secara besar-besaran untuk menindas banyak negara di dunia.

Jika teori mengejar laba maksimal seperti yang menjadi sasaran kaum kapitalis, kemudian diikuti oleh para ahli dari berbagai negara berkembang seperti di Indonesia, maka akhirnya seperti sekarang ini. Ekonomi sosial bukan, ekonomi kapitalis bukan, ekonomi Pancasila juga bukan, ekonomi kerakyatan juga bukan, yang mungkin adalah ekonomi kepentingan golongan politik/pengusaha tertentu, bahkan nyaris bisa dianggap sebagai ekonomi penuh dengan aneka rupa KKN.

Berapa ratus triliun rupiah sejak awal Orde Baru uang hasil migas disebar dengan alasan untuk membiayai aneka rupa berbagai proyek bagi kemakmuran rakyat, apakah alasan uang migas untuk membangun waduk, jalan, jembatan, pelabuhan, irigasi, dan lain-lain bahkan mungkin devisa migas karena milik BUMN bisa setiap saat untuk menekan kurs Dollar AS, sehingga rupiah tidak ambruk.

Tetapi nyatanya dana migas tidak sepenuhnya untuk mencari lapangan migas baru yang potensialnya besar atau uang migas untuk membangun berbagai kilang migas, karena secara comparative advantage sangat menguntungkan, karena pengalaman bangsa Indonesia lebih dari 100 tahun, tentu dengan syarat harus bersih dari segala rupa KKN, apalagi mark upbiaya. Karena uang migas menyebar lewat terkumpul dalam setiap pendapatan dalam negeri dalam APBN, sehingga hasilnya menjadi tidak menentu, tidak heran Pertamina yang sebagai BUMN sangat besar bisa kalah dengan perusahaan migas swasta yang produksinya bisa mencapai puluhan ribu barrel per hari.

Mungkin karena ekonomi Indonesia yang tidak jelas, sehingga apa saja dikerjakan walau hasilnya, bahkan negatif dan akhirnya sangat merugikan rakyat banyak. Memang tidak sepenuhnya para ahli ekonomi yang duduk sebagai birokrat dan perencana dapat disalahkan, sekiranya imam negara mendikte mereka untuk memanfaatkan sebagian dananya untuk keperluan lain yang berada di luar alur rencana nasional.

Walau para ahli tahu, bahwa untuk membangun perekonomian Indonesia secara historisnya sudah lama diketahui baik dilihat dari sisi geografis, ekonomis, demografis maupun historisnya yang sangat penting bagi ekonomi Indonesia secara makro.

Meningkatnya peran migas baik sebagai sumber dana maupun sebagai bahan energi dan bahan baku bagi berbagai sektor secara efek ganda, maka pertumbuhan GDP/PDB secara sektoral semakin meningkat. Begitu pula jumlah GDP/PDB Indonesia makin meningkat, ini berarti besarnya peran migas baik langsung maupun tidak langsung, sehingga seluruh sektor meningkat berarti pula berakibat terjadinya pergeseran struktur ekonomi yang semula sektor pertanian yang sangat dominan, kemudian struktur ekonomi itu berubah. Ini berarti peran migas dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia juga sangat besar pengaruhnya di berbagai sektor, bidang maupun regional.


Bachrawi Sanusi, Peranan Migas dalam Perekonomian Indonesia, 2002

Berbagai Tantangan Ekonomi Migas Indonesia (Bagian 2)

Salah satu alasan mengapa kontraktor minyak asing swasta melakukan operasinya di Indonesia, karena dianggapnya potensi ekonomi migas Indonesia sangat menguntungkan mereka baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang. Dengan kata lain, upaya  memburu untung maksimal dalam operasi migas di Indonesia mungkin tidak bisa dibantah lagi.

Walaupun demikian pemerintah juga sangat beruntung karena migas yang semula hanya terbenam di dalam bumi tanpa hasil, akhirnya bisa menghasilkan devisa dan penerimaan pemerintah yang jumlahnya sangat besar pada setiap APBN. Hal ini karena adanya kerja keras dari para kontraktor swasta asing bidang migas, sudah pasti kontraktor asinglah yang banyak menikmatinya, karena mereka punya modal, mereka yang menanggung risiko dan lain-lain (apakah kontraktor dalam negeri ada yang berani atau belum diberi kesempatan?, Red).

Sejak awal kemerdekaan dan masa Orde Baru semua hasil dari migas sekitar 60 persennya masuk ke kas negara untuk dana pembangunan nasional, bukan untuk pengembangan usaha migas. Ini jelas berlawanan dengan teori COR (capital output ratio) atau ICOR (incremental capital output ratio).

Minta Hutang Luar Negeri

Sayangnya, walau hasil migas semakin tinggi, tetapi pemerintah Orde Baru masih saja meminta hutang luar negeri. Untuk itulah pada waktu Prof. Dr. Ali Wardhana menjabat sebagai menteri keuangan, penulis pernah menyampaikan usul di ruang kerjanya di Lapangan Banteng agar uang migas digunakan untuk membayar hutang luar negeri. Usul yang sama juga penulis sampaikan kepada Gus Dur (panggilan akrab untuk Presiden Abdurrahman Wahid) beberapa minggu sebelum Gus DUr dipilih menjadi kepala negara.

Ali Wardhana tidak menerima usul itu. Menurut beliau, pinjaman itu diterima karena fasilitas bunganya rendah. Padahal, hal itu justru akan berakibat menumpuknya utang Indonesia dan sumber daya alam migas semakin habis.

Oleh karena itu, ketika surat-surat kabar memberitakan mengenai agar uang migas digunakan untuk membayar hutang luar negeri, penulishanya tersenyum, karena itu sudah belasan tahun yang lalu penulis ucapkan kepada Ali Wardhana.

Ternyata kini memang demikian, Hutang makin menumpuk dan uang hasil migas yang ratusan triliun rupiah selama masa Orde Baru yang dimasukkan ke dalam pendapatan dalam negeri dari migas. Uang itupun lenyap tidak tahu kemana digunakannya. Cadangan migas terus terkuras dan ditambah lagi hutang luar negeri setiap tahunnya dari berbagai sumber terus bertambah.

Memang, para perencana ekonomi nasional menyatakan bahwa hasil dari migas selama Orde Baru digunakan untuk membangun berbagai proyek. Namun, tidak tertutup kemungkinan hasil migas juga, telah dipinjamkan kepada para pengusaha istana alias kaum konglomerat.

Pinjaman bernilai triliunan rupiah, hingga kini terus menjadi beban bangsa dan negara. Karena segala hasil migas harus disetor Pertamina ke kas negara lewat Bank Indonesia, yang alokasinya juga tidak jelas (saat itu belum terbentuk BP Migas atau SKK Migas, Red).

Tidak menutup kemungkinan dana migas itu juga hanyut dalam skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dana Migas untuk berbagai pembangunan berbagai proyek besar seperti jalan raya, pelabuhan, jembatan dan lain-lain, juga paling banyak dimanfaatkan oleh perusahaan konglomerat rekan pemerintah Soeharto.

Bahkan pemborong proyek itu juga konglomerat. Dampaknya, menjelang akhir pemerintahan Orde Baru semakin terlihat konglomerat mempunyai andil besar dalam memporakporandakan ekonomi dan moneter. Semuanya itu telah terbenam dalam bentuk hutang yang menggunung dari kas negara yang mengering.

Sudah sejak lama disarankan, agar hasil migas seharusnya dimanfaatkan untuk dana pembangunan migas, khususnya bagaimana agar Pertamina bisa mempunyai lapangan-lapangan migas yang hasilnya lebih besar dibandingkan hasil para kontraktor minyak asing. Juga disarankan, agar dana migas itu digunakan untuk membangun kilang-kilang migas sebanyak mungkin terutama agar Indonesia akan jauh lebih banyak mengekspor migas hasil pengolahan.

Tujuannya, jika suatu saat Indonesia tidak lagi menjadi negara penghasil atau pengekspor minyak mentah, Indonesia telah siap dalam pengembangan industrinya (Indonesia sudah menjadi net importir sejak 2003, keluar dari keanggotaan OPEC di 2008, dan penulis sudah tidak aktif pada 2005, sehingga tidak sempat mendorong serta menyemangati ke bangsa ini untuk pengembangan industri migas ke depannya, Red). Akan tetapi, tampaknya pemanfaatan dana dari hasil migas selam 32 tahun Orde Baru dan juga tampaknya dilanjutkan sekarang, bukan sepenuhnya untuk pengembangan industri migas.

Harga Minyak Tinggi Bagi Kontraktor Asing

Sejak adanya kontraktor asing melakukan kegiatan mencari dan menghasilkan migas pemerintah tidak bermodalkan apa-apa. Pemerintah hanya mampu mengubah isi kontrak dalam upaya meningkatkan penghasilan bagi negara (kantong negara atau kantong lainnya?, Red).

Berbagai perubahan isi kontrak mulai dari kontrak karya hingga kontrak bagi hasil akhirnya juga hanya akan menguntungkan para kontraktor asing. Karena itu, para kontraktor migas asing merupakan perusahaan yang berkembang menjadi raksasa dan sudah puluhan tahun mengejar laba maksimum dari usaha migas di negara-negara penghasil migas.

Maka layak, jika pada saat harga minyak dunia tinggi, maka kontraktorlah yang banyak menikmati hasil kenaikan minyak yang makin mahal. Karena merekalah yang memiliki modal, teknologi, tenaga ahli yang cukup baik serta berani menanggung risiko yang sangat besar dalam dunia industri migas.

Sebaliknya, pemerintah Indonesia hanya mengharapkan hasil migasnya saja, terutama jika datang waktunya menyusun rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN).

Selama ini setiap akan disusun RAPBN selalu ada harapan berapa besarnya hasil dari migas (saatnya bagi-bagi ‘kue’, Red). Akan tetapi, tidak ada pertanyaan berapa dana yang dibutuhkan Pertamina di dalam industri migas Indonesia agar hasil migas dari eksplorasi dan eksploitasi migas semakin besar.

Itulah kelemahannya. Oleh karena itu, tidak seharusnya rakyat merasa iri dengan kontraktor minyak asing yang sangat beruntung besar pada saat harga minyak dunia melambung (mereka sudah bermodal, tanggung risiko, dan lagipula kontrak bagi hasil sudah jelas bagiannya masing-masing, tanpa mereka bagaimana mau bagi-bagi ‘kue’?, Red). Sumbangan migas baik berupa devisa maupun pendapatan dalam negeri dari migas, tentu berasal dari berapa besarnya bagian untuk negara (waktu itu melalui Pertamina sebelum adanya BP Migas atau SKK Migas, Red) dan bagian untuk para kontraktor.

Dari waktu ke waktu isi kontrak bagi hasil terus berkembang sesuai dengan perkembangan harga minyak, dengan harapan agar bagian negara semakin besar. Walau dalam prakteknya, ada juga kontraktor migas yang pendapatannya makin berkurang.

Generasi PSC

Sebagai gambaran, perkembangan serta hitungan pembagian laba migas dalam production sharing contract/PSC (kontrak bagi hasil), khususnya minyak, ada beberapa periode tertentu yang berlaku di Indonesia selama ini, yakni sebagai berikut

Pertama, periode PSC hingga 1973 dengan pembagian profit 65-67,5 persen menjadi bagian Pertamina dan bagian kontraktor 35-32,5 persen. Sedangkan pajak penghasilan merupakan beban Pertamina.

Kedua, periode 1974-1975. Pertamina memperoleh bagian 65-67,5 persen dan kontraktor 35-32,5 persen dan additional cash payment 20 persen di atas base price (pada harga 10/8 adalah US$5) dan pajak beban Pertamina

Ketiga, periode 1976-1978 bagian :
a)      Pertamina 65-67,5 persen dan kontraktor 35-32,5 persen
b)      Additional cash payment
c)      Financial adjusmentdari ketiganya itu (A+B+C) adalah 85 persen dari net operating income dan untuk gas pembagiannya, tetap 65 persen dan pajak sebagai beban Pertamina.

Periode PSC 1964-1977 dinamakan PSC generasi I, dan periode 1978-1987 PSC generasi II. Dalam PSC generasi II ini, antara lain pembagian hasil setelah dikurangi biaya-biaya, maka pembagiannya (minyak) untuk Pertamina 65,91 persen dan kontraktor 34,09 persen. Untuk itu, bagian Pertamina 31,80 persen dan kontraktor 68,20 persen. Kontraktor membayar pajak 56 persen ke pemerintah.

PSC generasi III, mulai berlaku periode 1988 hingga sekarang. Pembagian hasil berubah menjadi untuk minyak, 71,15 persen menjadi bagian Pertamina dan 28,85 persen untuk kontraktor. Sedangkan untuk gas bumi, sebesar 42,31 persen hasil untuk Pertamina dan 57,64 persen untuk kontraktor.

Bagian bersih hasil setelah dikurangi pajak, untuk minyak perbandingan pembagian antara pemerintah Indonesia dengan kontraktor adalah 85:15 dan untuk gas bumi perbandingan 70:30. Sebagai catatan, hasil migas khususnya minyak yang sekitar 1,2 juta barel per hari (produksi pada saat itu, sekarang untuk menyentuh 900 ribu barel per hari saja sulit, Red), terbesar dari hasil kontraktor PSC generasi I. Khususnya dari hasil minyak dari PT Caltex (jadi siapa yang berjasa mengumpulkan dana untuk pembangunan nasional? mengingat dana hasil migas seluruhnya masuk ke kas negara, Red), kemudian bermunculan aneka rupa insentif. Akan tetapi, tetap saja sepertinya minat kontraktor asing tidak semakin besar. Apalagi jika dikaitkan dengan keterikatan Indonesia dengan pembatasan produksi OPEC.

Oleh karena itu, sejak lama sudah disarankan agar Indonesia keluar saja dari OPEC, agar bebas memproduksi seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Meksiko dan lain-lain (Indonesia keluar dari OPEC karena sudah tidak lagi menjadi negara pengekspor minyak, tapi merasa bangga pada saat itu menjadi anggota OPEC dengan menuruti berbagai aturan yang bernuansa politik menekan perkembangan industri migas Indonesia, sampai kalah dengan negara sahabat, Red).

Adapun cara memperkirakan berapa besarnya sumbangan migas, khususnya dalam setiap RAPBN, maka harus dihitung misalnya, dengan menggunakan cara pembagian pendapatan dari sistem PSC biasa dengan insentif.

Misalnya, untuk setiap minyak yang diproduksi sebesar 1.000 barel dengan harga US$30 per barelnya, maka untuk investment credit dibutuhkan US$10 per barel, untuk cost recovery US$200 per barel, maka perhitungan seperti terlihat pada tabel berikut,

Aliran Minyak
Barel
Pertamina
Kontraktor
I  Production/Lifting
1000
-
-
   Invesment Credit
10
-
-
   Cost Recovery
200
-
-
   Equity to be Split
790
-
-
   Pertamina’s Share (65,91% x 790)

520,7
-
   Contractor’s Share (34,09% x 790)

-
269,3
   Domestic Market (25% x 34,09% x 1000)

85,2
(85,2)
   Total Aliran Minyak

605,9
184,1
   (Asumsi harga minyak US$30/barrel)



II Aliran Uang – US$



   Government tax Entitlement (US$)

4692
(4692)
   Fee domestic 85,2 x US$30

(2556)
2556
   Interest non capital carry forward (US$)

(20)
20
   Total Aliran Uang (US$)

2116
(2116)
III Jumlah Pembagian (I+II), US$

20293
9707
            Catatan:   Government tax Entitlement 50% x US$ (11823 + 2556 – 6000)
                                US$6000 = Hasil recovery 200 barel x US$30

Sebagai gambaran, produksi minyak mentah Indonesia bulan Maret 2000 sebanyak 1,191 juta barel per hari. Sebagian berasal dari PSC, yakni sebesar 1,076 juta barel per hari, terutama hasil kontraktor migas asing. Selisihnya merupakan hasil produksi Pertamina dan hasil kerjasama Pertamina dengan cara joint operation body(JOB) dan cara lainnya yang sangat kecil produksinya (hanya 9,6 persen effort Pertamina dalam produksi minyak, benarkah sanggup bila seluruh lapangan migas di Indonesia Pertamina yang mengelola? dengan seluruh dana hasil migas di setor ke kas negara? bagaimana nasib perkembangan perusahaan minyak nasional?, Red).

Jika harga minyak dunia makin tinggi, makin besarlah profit para kontraktor itu. Untuk memudahkan membuat rencana pendapatan migas dari migas maka digunakan perhitungan dengan harga yang dipatok dalam RAPBN. Jumlah produksi minyak juga dipatok, berapa nilai yang dimasukkan dalam suatu perhitungan, misalnya dengan formula di atas.

Adapun realisasinya harus dihitung satu per satu kontraktor, karena tahun serta isi kontrak berbeda, juga harga serta jenis minyak mentahnya termasuk syarat-syarat pembagiannya. Oleh karena itu, antara rencana dan realisasi pendapatan dalam negeri dari minyak bumi khususnya selalu berbeda.

Yang pasti selama bulan Maret 2000 produksi minyak mentah dari 17 kontraktor PSC daratan jumlah produksi minyak mentahnya 752,7 ribu barel per hari, yang terbesar dari PT Caltex sebesar 590,7 ribu barel per hari. Dari 10 kontraktor PSC lepas pantai yang jumlah hasil minyak mentahnya sebanyak 323,1 ribu barel per hari, terbesar dari Maxus 111,3 ribu barel per hari.

Selama Januari-Maret 2000 jumlah produksi minyak mentah Indonesia sebesar 108,17 juta barel. Ini berarti laba yang diterima sangat tinggi, karena harga minyak sedang tinggi, dan sebagian besar laba itu akan diterima para kontraktor migas asing.


Bachrawi Sanusi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004.

Indonesia Bisa Mundur Kalau Masih Ekspor Bahan Mentah Mineral

Pemerintah dan para pelaku usaha tambang menetapkan keputusan bersama untuk pengolahan konsetrat kadar 15 persen, pemurnian tembaga 90 persen, dan emas 99 persen. Penetapan itu dinilai telah mengakomodasi kepentingan kontrak karya (KK), Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin usaha pertambangan khusus pengolahan pemurnian.

Hal tersebut merupakan keputusan bersama yang diputuskan pada rapat tertangal  8 Januari 2014  diantara Kementerian ESDM, Kadin Indonesia, Asosiasi Mineral Indonesia (AMI), Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI), PT Freeport, dan PT Newmont.

“Keputusan ini agar pengolahan IUP tembaga bisa memproduksi konsentrat kadar 15 persen, dengan begitu IUP terakomodasi, kontrak karya tetap bisa ekspor,  UU No.4/2009  bisa jalan, pergerakan ekonomi di daerah pun aktif tidak terjadi stagnasi dan PHK tidak terjadi,” kata Ketua ATEI, Natsir Mansyur.

Menurut Natsir, dalam masa waktu persiapan yang hanya 3-4 tahun program hilirisasi mineral ini memerlukan dukungan, namun semestinya bertahap dan memerlukan waktu sambil menunggu  pembangunan industri pengolahan dan pemurnian berproduksi. 

Dalam implementasinya, kata dia, sebaiknya Kementrian ESDM proaktif melibatkan Kadin dan Asosiasi untuk memutuskan bersama.  “Pokoknya tidak ekspor ore (bahan mentah mineral), negara ini mundur kalau masih ekspor ore,” kata Natsir yang juga merupakan Dirut PT Indosmelt.