Potensi Minyak Bumi Dunia (Dilihat dari Era 1980an)

Berapa lama minyak bumi dunia akan habis sangat tergantung pertama dari besar kecilnya cadangan dan yang kedua berapa besarnya produksi yang disesuaikan dan tingkat kebutuhan dunia akan minyak bumi. Sedangkan, besar kecilnya tingkat kemakmuran suatu negara. Semakin makmur, diperkirakan kebutuhan akan energi terutama berupa minyak bumi juga semakin besar.

Jika minyak bumi kelak masih merupakan sumber energi utama, sudah dapat diramalkan bahwa ketergantungan negara-negara industri non-komunis terhadap negara OPEC semakin besar. Tidak mengherankan jika keamanan di negara-negara Timur Tengah pada akhirnya selalu dihantui oleh bencana peperangan antar negara penghasil minyak di Timur Tengah. Karena minyak bumi merupakan kunci bagi industri.

Mungkin pengalaman keadaan di kawasan Asia Tenggara yang selalu terjadi keributan perlu dijadikan contoh. Karena Asia Tenggara dalam kategori gudang yang kaya akan sumber-sumber kekayaan alam seperti halnya, minyak, timah, tembaga, bauksit, nikel, karet, gula, kopi dan sebagainya (treasure house of resource). Maka tidaklah heran kalau Asia Tenggara sejak perang dunia kedua, telah menjadi kancah perebutan negara raksasa seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, RRC, Jepang setelah pengaruh Perancis menjadi luntur. Apalagi kawasan Asia Tenggara yang pada waktu itu kaya akan bahan tambang dan hasil pertanian atau perkebunan, maka tidak mengherankan jika potensi minyak dunia yang terbesar seperti di Timur Tengah juga akan menjadi kawasan yang cukup menggelisahkan. Berbagai kepentingan akan ikut mewarnai negara-negara di Timur Tengah, masalanya kini minyak bumi sebagai sumber energi menjadi penentu sekali bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Sebagai gambaran berapa banyak minyak dunia yang telah dihasilkan, dan berapa besar cadangannya akan terlihat seperti pada tabel 1.

Tabel 1
Potensi Minyak Bumi Dunia yang Telah Diketahui
(miliar barel)
Wilayah
Produksi Kumulatif
(1859-1977)
Cadangan
(akhir 1977)
Perbandingan Cadangan/Produksi Kumulatif
Amerika Serikat
114
29
0,25
Timur Tengah
100
366
3,7
Uni Soviet & Eropa Timur
55
78
1,4
Afrika
25
59
2,4
Kanada
8
6
0,75
Eropa Barat
4
27
6,7
Belahan Dunia Barat Lainnya
46
40
0,9
Belahan Dunia Timur Lainnya
15
40
2,7
Jumlah
367
645

                Sumber: International Petroleum Encyclopedia, 1978

Dari tabel 1 tersebut terlihat bahwa cadangan minyak yang terbesar, yaitu di Timur Tengah. Diharapkan sumbangan minyak dan Timur Tengah akan memegang peranan utama, apalagi jika diingat kumulatif produksinya yang sangat besar setelah Amerika Serikat. Jika dilihat dari jumlah kebutuhan minyak bumi di Timur Tengah sendiri sangat kecil, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kumulatif minyak Timur Tengah yang mencapai 100 miliar barel, nyatanya telah disedot oleh perusahaan minyak raksasa (pintar ya mereka, ga punya ladang migas sendiri, nyedot di ladang tempat lain, kenapa trik seperti itu tidak digunakan juga sama Indonesia?, Red).

Di samping usaha mempengaruhi suasana di kawasan negara-negara penghasil minyak seperti Timur Tengah, juga sambil berusaha mencari serta menghasilkan energi lain di luar minyak, sekaligus menciptakan hasil mesin-mesin industri atau mesin-mesin angkutan lainnya yang menggunakan energi bukan minyak.

Itulah sekedar gambaran berapa besarnya potensi minyak dunia yang hingga kini masih menjadi bahan energi utama dan masih menggelisahkan berbagai negara di dunia yang sama sekali tidak mempunyai energi berupa minyak bumi atau energi lainnya.

Kebutuhan Minyak Bumi Dunia

Besar kecilnya perkembangan kebutuhan minyak bumi pada akhirnya sangat ditentukan pertama oleh tingkat kemakmuran suatu negara, kedua tingkat harga minyak itu sendiri dibandingkan dengan harga energi lainnya. Penentu lain, yaitu adanya sumber energi lain yang lebih banyak dan ekonomis (mungkin dari beberapa negara yang sengaja membatasi kebutuhannya akan minyak bumi). Masalah harga minyak itu sendiri sangat ditentukan oleh tuntutan dari negara penghasil minyak yang selalu menuntut harga yang terus naik dengan alasan untuk memenuhi persamaan nilai tukar akibat adanya inflasi di negara maju.

Di samping itu, kebijaksanaan OPEC yang berusaha melestarikan cadangan minyaknya hingga dapat bertahan agak alam lagi daripada minyak terus dikuras sebesar-besarnya hanya untuk kepentingan negara industri atau maju. Dengan adanya ketakutan akan kelangkaan minyak bumi di dunia, banyak para ahli meramalkan bahwa pada akhirnya energi lain juga akan mampu menggantikan minyak bumi sebagai energi.

Dilihat dari jumlah kebutuhan dunia akan minyak bumi memang ada kecenderungan usaha mengurangi ketergantungan akan minyak bumi. Sebagai gambaran pada tabel 2, akan terlihat mengenai berapa kebutuhan dunia non-komunis akan minyak bumi, dan pada tabel 3 akan terlihat kebutuhan dunia akan energi, dimana peranan dari minyak secara prosentase akan ditekan.

Tabel 2
Perkiraan Kebutuhan Dunia (Non-Komunis) Akan Minyak Bumi
(jutaan barel per hari)
Negara
1976
1985
1990
Amerika Serikat
16,7
22,5
23,5
OECD Eropa
13,6
16,9
18,0
Kanada
2,0
2,5
2,2
Jepang
4,8
6,5
7,4
Negara maju lainnya
1,2
1,8
2,2
OECD lainnya
2,1
4,5
5,7
Negara berkembang non OPEC
6,7
9,5
11,0
Lain-lain
0,9
-
-
Jumlah
48,0
64,2
70,0
            Sumber: Forecast of Energy Supply and Demand in the Non-Communist World, OPEC Bulletin, July 31,1978

Tabel 3
Kebutuhan Dunia Akan Energi Primer Sebagai Bahan Bakar
(jutaan barel per hari ekuivalen minyak bumi)
Jenis
1980
2000
2020
Minyak Bumi
60
89
95
Gas Alam
22
33
39
Batubara
33
66
133
Nuklir
3
41
122
Kayu & Energi Surya
14
24
40
Tenaga Air
8
16
24
Jumlah
140
269
453
Pertumbuhan rata-rata per tahun
3,3%
2,6%
            Sumber: World Energy Conference, 1978

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa diharapkan pada 2020 peranan minyak bumi tidak lagi begitu besar, malah sebaliknya dunia kembali seperti keadaan energi Amerika Serikat di 1920. Dimana peranan batubara kembali lagi sangat berperan. Di samping itu, energi berupa nuklir, kayu, energi surya dan tenaga air terpaksa dikembangkan. Dengan demikian semakin jelas, bahwa sebenarnya kebutuhan dunia akan minyak bumi semakin besar jumlahnya akan terus dikendalikan oleh OPEC, maka energi lain di luar minyak bumi semakin dikembangkan.

Minyak Dunia dan Kemungkinan Sebagai Alat Diplomasi

Untuk mengukur sampai seberapa jauh peranan energi dapat diandalkan sebagai alat diplomasi, terutama perlu dilihat sumber pengadaan minyak bumi duni. Jika dilihat dari tabel 1, terlihat sekali bahwa dalam jangka panjang potensi minyak bumi di dunia yang berupa cadangan sekitar 366 miliar barel berada di Timut Tengah, terutama di negara-negara OPEC seperti Saudi Arabia, Irak, Kuwait, United Arab Emirates dan lain-lain yang kaya akan minyaknya, tetapi jumlah penduduknya sedikit (pantas jadi target melulu, selain itu kontraknya tidak menggunakan PSC, makanya sulit mendapatkan minyak di daerah tersebut, Red).

Di lain pihak, jika dilihat dari tabel 2 terlihat jelas kebutuhan dunia (non-komunis) akan minyak bumi terbesar berada di negara-negara OECD, sedangkan kebutuhan minyak di negara-negara berkembang (bahkan OPEC sendiri) masih jauh lebih kecil. Sedangkan, dalam tabel 3 terlihat jelas, kebutuhan dunia akan energi primer masih diharapkan terbesar berupa minyak bumi. Dalam keadaan inilah, sungguh tepat jika peranan minyak bumi bumi sebagai sumber energi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan diplomasi yang nyata, terutama dalam menciptakan Tata Ekonomi Dunia Baru yang masih terus diperjuangkan. Dimana kekuatan dari OPEC, terutama dari OPEC kelompok kaya, seperti Saudi Arabia, Kuwait, Irak, UAE, Qatar, Iran sangat diharapkan peranannya dalam usaha membentuk Tata Ekonomi Dunia Baru.

Dilihat dari potensi minyak dunia yang berupa cadangan (sebagian besar berada di tangan OPEC) memungkinkan OPEC sebagai kelompok negara berkembang dapat secara aktif berjuang bersama kelompok negara berkembang lainnya. Yang berarti dengan minyak bumi sebagai senjata atau alat diplomasi, diharapkan tuntutan perubahan yang menyangkut nasib negara berkembang non-OPEC dapat tercipta. Terutama dalam usaha mengaitkan segala rupa perjanjian atau dialog dengan pihak negara-negara industri atau maju, agar berbagai masalah pokok yang menjiwai Tata Ekonomi Dunia Baru harus selalu dikaitkan dengan kekuatan minyak OPEC.

Untuk itu, harus dilihat secara kenyataannya, dimana pada awal 1981 dari hasil pertemuan di Bali bulan Desember 1980, OPEC berhasil menaikkan harganya lagi antara US$2 – US$4 per barel. Hal ini bukan saja akan mempengaruhi ekonomi dunia baik negara-negara maju atau industri, tetapi juga sangat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang yang miskin akan energi. Dengan keadaan demikian, memungkinkan kelompok negara-negara industri harus berhati-hati dan mau mengikuti kehendak kelompok negara berkembang, dimana OPEC sebagai pemimpinnya.

Di lain pihak kelompok negara berkembang yang telah melangkah pada industri, tetapi miskin akan energi berupa minyak bumi, terpaksa harus lebih erat lagi melakukan hubungan kerjasama dengan kelompok negara berkembang lainnya yang mampu memberikan pengadaan minyak serta dana, misalnya dari OPEC.

Untuk mengukur bagaimana potensi OPEC terhadap minyak bumi dunia, perlu pula dilihat data kuantitatif sampai seberapa jauh peranan OPEC di dunia. Sebagai kenyataan, dengan terganggunya produksi serta ekspor minyak dari Irak dan Iran, walaupun Saudi Arabia mampu menaikkan produksinya menjadi sekitar 9,5 juta barel per hari, tetapi kenyataannya harga minyak OPEC pada 1981 mampu naik menjadi US$41 per barelnya. Ini mencerminkan kebutuhan minyak dunia masih lebih besar daripada jumlah produksi dunia. Dalam tabel 4 akan disuguhkan data terakhir produksi dunia di 1979, serta perkiraan 1980, dari gambaran ini akan terlihat dengan pasti bahwa di antara negara industri sendiri ada yang kaya akan minyak dan miskin akan minyak. Sedangkan di negara OPEC itu sendiri terlihat ada kelompok negara kaya dengan jumlah penduduk sedikit.

Tabel 4
Peranan OPEC dalam Produksi Minyak Dunia 1979
Dan Perkiraan 1980
(ribuan ton)
Kelompok Negara
1979
1980
Perubahan (%)
Bagian dari Dunia
1979
1980
Amerika Utara
562.845
567.000
0,9
17,6
18,5
Caribbean Area
221.398
240.545
8,7
6,9
7,8
Amerika Latin lainnya
54.625
56.780
3,9
1,7
1,9
Eropa Barat
108.887
116.665
7,1
3,4
3,8
Eropa Timur & USSR
608.251
625.465
2,8
19,1
20,4
Timur Tengah
1.091.858
956.630
-11,0
34,3
31,2
Afrika
293.310
261.025
12,4
9,2
8,5
Timur Jauh
248.880
241.515
2,8
7,8
7,9
Produksi Dunia
3.189.054
3.065.625
-3,9
100,0
100,0
(dari OPEC)
(1.523.954)
(1.340.830)
-12,0
47,8
43,7
                Sumber: diolah dari Petroleum Economist, January 1981

Dari gambaran ini, akan semakin jelas bahwa peranan OPEC masih sangat besar dan diharapkan dapat diandalkan dijadikan sebagai alat diplomasi. Tentu dengan catatan, diplomasi yang secara nyata atau formal. Karena hingga kini, bahkan dalam pemikiran ini sebenarnya masih dianggap bahwa sejak lama minyak bumi telah dijadikan alat diplomasi oleh beberapa pihak. Tetapi dengan munculnya usaha Tata Ekonomi Dunia Baru sudah waktunya kalau dunia menyatakan bukan saja minyak bumi sebagai alat diplomasi, tetapi juga energi secara keseluruhan sebagai alat diplomasi.

Dari gambaran 1979 dan perkiraan 1980, bahwa produksi minyak OPEC di dunia masih cukup besar ialah di atas 40 persen. Untuk melihat kelompok negara industri kaya akan minyak akan terlihat seperti tabel 5. Dalam tabel ini, penulismencoba memperlihatkan beberapa negara di dunia penghasil minyak yang cukup besar peranannya atau masih diharapkan dapat menjadi besar seperti dari Inggris dan lain-lain. Dalam hal ini, penulismencoba membagi dalam tiga kelompok besar negara penghasil minyak, yaitu kelompok OPEC. Kelompok non-OPEC-non-Komunis, dan kelompok non-OPEC-Komunis.

Tabel 5
Produksi Minyak Dunia 1979 Dan Perkiraan 1980
Atas dasar Perbandingan Kelompok
(ribuan ton)
Kelompok Negara
1979
1980
Perubahan (%)
Bagian Dunia
1979
1980
Produksi Dunia
(3.189.054)
(3.065.625)
(-3,9)
(100,0)
(100,0)
I.(Produksi OPEC)
(1.523.954)
(1.340.830)
-12,0
(47,8)
(43,7)
1.      Saudi Arabia
475.200
495.000
4,2
14,9
16,1
2.      Irak
168.025
138.000
-17,2
5,3
4,5
3.      Iran
151.390
74.000
-15,1
4,7
2,4
4.      -Abudhabi
71.060
65.000
-8,5
2,2
2,1
-Sharjah
646
480
-25,7
-
-
-Dubai
17.720
17.500
-1,2
-
-
5.      Qatar
24.404
22.800
-6,6
-
-
6.      Nigeria
113.479
101.000
-11,0
3,6
3,3
7.      Libya
98.943
85.600
-13,5
3,1
2,8
8.      Aljazair
53.175
44.850
-15,7
1,7
1,5
9.      Gabon
10.300
10.100
-1,9
-
-
10.  Kuwait
127.205
86.000
-32,8
4,0
2,8
11.  Equador
10.515
10.000
-4,9
-
-
12.  Venezuela
122.755
113.000
-7,9
3,8
3,7
13.  Indonesia
79,137
77.500
-2,1
2,5
2,5
II.(Non-OPEC-Komunis)*
(608.251)*
(625.465)*
(-2,8)*
(19,1)*
(20,4)*
USSR
586.000
603.000
2,9
18,4
19,7
RRC
106.150
106.000
-0,1
3,3
3,5
III.(Non-OPEC-Non-Komunis)*
(950.699)
(993.330)
(-4,5)
(29,8)
(32,4)
1.      Amerika Serikat
478.590
485.000
1,3
15,0
15,8
2.      Kanada
83.255
82.000
-1,5
2,6
2,7
3.      Mexico
80.815
110.00
36,5
2,5
3,6
4.      Inggris
77.854
80.000
2,8
2,4
2,6
5.      Norwegia
18.288
23.700
29,6
-
-
6.      Australia
20.522
18.750
-8,6


*belum termasuk RRC
Sumber: diolah dari Petroleum Economist, January, 1981.

Dilihat dari gambaran produksi dewasa ini, nampak sekali peranan OPEC masih tetap kuat. Dilihat dari jangka panjang, jika diukur dari potensi berupa cadangan, juga OPEC masih berperan. Kiranya tepat kalau minyak bumi bagi kelompok negara berkembang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dapat dimanfaatkan sebagai energi untuk alat diplomasi, walaupun perlu diperhitungkan kemungkinan dari produksi atau cadangan-cadangan non-OPEC-non-Komunis yang tergabung dalam negara-negara industri atau maju yang hingga kini masih enggan untuk melaksanakan Tata Ekonomi Dunia Baru.

Usaha dalam pengendalian produksi dan harga minyak OPEC diharapkan energi sebagai alat diplomasi untuk dikaitkan pada masalah-masalah pokok Tata Ekonomi Dunia Baru sebenarnya dapat segera tercipta. Walaupun dengan catatan, perlu adanya bantuan penuh dari OPEC itu sendiri. Dalam hal ini, diharapkan Indonesia dapat berperan melalui OPEC, bukan saja menyangkut produksi dan harga minyak, tetapi juga menyangkut masalah dana dan minyak OPEC bagi negara berkembang dan dalam kaitannya dengan negara industri yang semakin tergantung akan pengadaan minyak bumi.

Dari gambaran tabel 5 dapat terlihat, bahwa bagi Amerika Serikat dan Inggris nampaknya tidak begitu sulit dalam hal minyak bumi, karena hingga kini, terutama Amerika Serikat mampu menaikkan produksi minyaknya. Bagi Indonesia, mungkin terlalu pagi jika mengemukakan atau mengharap energi sebagai alat diplomasi sebagai suatu kenyataan, karena potensi energi Indonesia berupa minyak bumi masih lebih kecil dibandingkan dengan produksi RRC yang terus mengembangkan usaha eksplorasinya.

Walaupun demikian, dari gambaran kuantitatif posisi Indonesia tidak begitu berarti, tetapi karena Indonesia mempunyai kekuatan politik di forum-forum internasional (oh ya?, Red), terutama di kelompok negara berkembang, maka diharapkan usaha Indonesia untuk mengarahkan OPEC lebih aktif lagi, bukan lagi sebagai suatu tindakan mimpi atau terlalu pagi. Hal ini terbukti dengan adanya usaha pemerintah Indonesia dalam hal Presiden Soeharto pada waktu membuka pertemuan OPEC di Bali, Desember 1980, dimana disinggung pula mengenai harapan serta anjuran yang berbau politik internasional, agar pihak yang berperang, Irak dan Iran, segera menghentikan peperangan. Hal ini dapat dikaitkan bukan saja pada jaminan keamanan nasional itu sendiri, tetapi juga keamanan dunia, terutama keamanan di kawasan negara-negara OPEC.

Keterbatasan Deposit Minyak Bumi

Dilihat dari potensi minyak bumi seperti telah diuraikan, dapat dilihat bahwa cadangan minyak bumi di dunia mungkin akan habis. Tetapi, dalam bagian ini khusus melihat dari segi keterbatasan. Seperti studi-studi yang telah dikemukakan oleh para ahli, bahwa hampir setiap tahun selalu ditemukan sumber-sumber minyak baru, yang kemudian akan menambah besarnya cadangan minyak dunia.

Secara teoritis sudah dapat dipastikan, bahwa minyak bumi di dunia akan habis karena masalah jumlah kebutuhan minyak bumi berkembang bagaikan deret ukur, sedangkan penemuan-penemuan sumber minyak bagaikan deret hitung. Bahkan diperkirakan bahwa minyak akan habis seratus tahun lagi. Tetapi kenyataannya, apakah minyak akan habis seratus tahun lagi? Sulit untuk diramalkan, karena beberapa faktor banyak menentukannya.

Yang pasti karena minyak dunia terbesar berada di negara-negara OPEC, sedangkan konsumsi terbesar berada di negara-negara maju atau industri. Tidak dapat disangkal lagi, jika pada suatu saat negara-negara OPEC secara serentak mengurangi atau menghentikan produksinya, yang kesemuanya akan mengacaukan negara industri. Ada alasan karena inflasi, maka harga minyak OPEC harus tinggi. Ada alasan karena barang-barang industri terlalu mahal. Ada alasan karena negara industri telah menekan komoditi non minyak negara berkembang. Berbagai alasan dapat muncul dalam permainan penentuan harga minyak OPEC. Yang lebih hebat lagi, jika alasan berupa menjaga kelestarian cadangan minyak agar tidak segera habis.

Pengadaan minyak dunia yang berlimpah-limpah sudah berlalu. Harga minyak yang sangat murah juga sudah habis ceritanya. Masalahnya, sekarang bagaimana kontak diplomasi antara negara industri agar mereka tetap kuat sebagai negara industri. Agar mereka tetap menguasai pasaran dunia, karena kecenderungan hasil industri yang berupa peralatan dan angkutan yang menggunakan bahan bakar minyak semakin suram. Tidak mengherankan jika berbagai negara maju atau industri yang penuh dengan dana, penuh dengan keahlian dan teknologi maju, penuh dengan mesin-mesin industri, mencoba mencari jalan keluar dalam masalah energi.

Bagi negara berkembang penghasil minyak mungkin berbeda kepentingan dengan negara industri. Mereka sebagian berpikir bagaimana kelak kalau mereka bangkit menjadi negara industri, kemudian energi apa yang digunakannya. Oleh karena itu, cadangan minyak bumi harus dipertahankan. Negara berkembang penghasil minyak yang tak besar seperti Indonesia seharusnya sudah berpikir demikian.

Lain lagi dengan negara industri, mungkin alasan yang dihadapi selama ini merupakan titik pangkal untuk menyatakan bahwa deposit minyak bumi terbatas. Oleh karena itu, hanya para ahli dari negara maju aindustri saja yang telah berusaha mengadakan publikasi yang berkenaan dengan cadangan minyak. Atas dasar kecemasan, karena deposit terbatas, jumlah penggunaan meningkat apalagi setelah negara berkembang menjadi negara industri, tak dapat terpikir dengan energi apa berbagai peralatan yang biasanya menggunakan minyak bumi harus digerakkan.

Oleh karena itu, berbagai kebijaksanaan negara-negara maju dan juga negara-negara berkembang dalam usaha pengembangan energi lain di luar minyak dijadikan alasan untuk mengurangi ketergantungan akan minyak bumi. Jika seluruh negara di dunia telah berpikir demikian, maka negara industri akan mengalami keuntungan besar untuk jangka panjang. Pertama, negara industri yang kaya akan energi seperti Amerika Serikat dapat menghasilkan energi lain dan juga dapat meningkatkan produksi minyaknya dari negara sendiri.

Kedua, bagi negara-negara berkembang yang kaya akan energi lain dan juga mengandung minyak, akan tergantung dengan negara industri. Bukan saja karena bantuan dana yang besar dari negara maju, juga masalah keahlian, teknologi dan peralatan untuk menghasilkan energi terutama non minyak. Diperkirakan kelak akan terjadi periode baru dalam masalah energi, dari batubara, minyak bumi dan kemudian akan kembali lagi kepada batubara dan energi lain di luar minyak dan batubara. Dimana kesemuanya akan dikuasai oleh negara industri atau maju.

Jika sekarang telah berakhir kerjasama dalam usaha minyak bumi antara negara berkembang dengan negara industri, maka kelak akan muncul perjanjian baru yang menyangkut energi di luar minyak bumi. Keuntungan ketiga, yaitu apabila dahulu negara industri melalui perusahaan minyak raksasanya sebagai penentu harga minyak, maka kelak mereka akan menjadi penentu herga energi lain, bahkan menjadi negara pengekspor energi lain.

Keempat, negara industri telah terhindar dari ketergantungan impor minyak dari OPEC. Sedangkan keuntungan yang kelima, sasaran negara industri yaitu untuk menghasilkan berbagai rupa peralatan atau mesin-mesin khusus dengan bahan energi non minyak. Hal ini bukan saja akan menjadi beban berat bagi negara berkembang, tetapi juga suatu tantangan yang berat bagi OPEC, karena kelak minyak bumi bukan lagi sebagai bahan energi, tetapi terpaksa hanya untuk kepentingan petrokimia selama belum ada bahan energi sintesis lainnya yang akan menggantikan minyak bumi.

Dengan demikian sulit dicarikan ukuran apakah benar, sekarang deposit minyak bumi dunia terbatas. Ataukah hanya dijadikan alasan untuk mempercepat munculnya sumber-sumber energi lain, sekaligus merubah berbagai peralatan atau mesin-mesin hanya dengan menggunakan energi non minyak? Jika dilihat secara teoritis, karena minyak bumi sekali pakai habis, dan bukan sumber energi yang dapat diperbaharui (renewable) maka pada akhirnya akan habis juga. Tetapi kapan?


Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi, Energi dan Diplomasi, 1982.