Marah berujung Petaka: Apakah Bisa Dicegah?


Pagi ini saya menonton televisi dan terenyuh sepertinya ada saja cerita konflik yang terjadi baik di level pimpinan negara maupun di akar  rumput di Masyarakat kita di negara yang tercinta ini. Dilevel pemimpin negara, pertikaian KPK-POLRI belum juga tuntas, Eksekutif (Menteri BUMN) berkonflik dengan dengan legislatif (DPR). Di level akar  rumput juga terjadi konfliks antar kelompok masyarakat seperti   di Lampung dan Palu yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia sia-sia. Antar mahasiswa tawuran terus terjadi, demonstrasi mahasiswa rusuh. Ancaman teroris masih terus menghantui kita.  Intinya semua ini bermula dari  kemarahanan yang berujung konfliks dan bahkan kemarahan yang berujung kematian. Semua kemarahan dan konfliks ini menjadi makanan sehari-hari masyarakat kita karena selalu menjadi pemberitaan utama baik media cetak maupun elektronik.

 Marah sebenarnya bukan terjadi dengan begitu saja. Marah yang keluar dari seseorang bisa ditelusuri kenapa  marah tersebut harus terjadi. Marah bisa terjadi tiba-tiba atau kemarahan tersebut sudah ada tinggal tunggu  pencetusnya sehingga marah menjadi menumpuk dan meledak. Marah bisa merupakan wujud kekecewaan, frustasi, stress serta  ketidak berdayaan.  Semua ini terjadi karena tekanan jiwa yang mencetuskan kondisi tersebut. Tekanan jiwa yang terjadi ini jika tidak dikelola dengan baik selain tadi sewaktu-waktu bisa meledak dan menimbulkan kemarahan.

Konflik yang terjadi di level pimpinan bisa juga berawal karena ketidak sukaan atas perlakukan satu pihak kepada pihak yang lain. Ketidaksukaan atas sesuatu bisa turun temurun dan berlangsung kronik. Konflik KPK dan Polisi juga bermula ketidak sukaan antara satu dengan dengan yang lain yang terus berlangsung. Begitu pula konflik antara legislative (DPR) dan eksekutif (BUMN), perlakuan yang tidak mengenakan antara satu sama lain apalah namanya akan menimbulkan konflik dan kemarahan satu sama lain.

Tawuran antar kelompok satu dengan yang lainpun juga sebenarnya bukan terjadi dengan sendirinya. Adanya peristiwa kecil yang mendahului konfliks sebelumnya adalah hanya sebagai pencetus saja. Hal ini juga terjadi dengan konfliks di Lampung Selatan yang sampai saat ini masih menyisakan sebagian besar masyarakat yang masih mengungsi karena situasi yang belum kondunsif belum bisa kembali ke desa atau kampungnya. Kecemburuan social antara masyarakat pendatang dan masyarakat local selalu menjadi penyebab utama kenapa masalah sepele bisa menjadi besar sehingga terjadi tawuran antar kelompok. Pemimpin harus mengidentifikasi semua konflik yang akan terjadi dan melakukan usaha-usaha preventif agar konflik tidak berulang.

Beberapa hal yang menyebabkan seseorang atau kelompok orang marah harus bisa diidentifikasi. Marah  pasti tidak terjadi dengan sekonyong-konyong, marah terjadi pasti ada yang melatar belakangi. Ada beberapa keadaan yang melatar belakangi kenapa seseorang menjadi marah. Marah bisa terjadi karena rasa frustasi, frustasi dalam kehidupan, kegagalan dan ketidak berhasilan membuat seseorang jadi mudah frustasi dan marah. Marah bisa terjadi karena trauma masa lalu, ketidak adilan atau kecemburuan sosial  yang dialami yang terus membekas dan sewaktu-waktu bisa menimbulkan kemarahan. Ketidak berdayaan dan rasa takut yang terus menerus juga sewaktu-waktu bisa menimbulkan kemarahan. Maka ada istilah jangan bangunkan  anak macan. Artinya orang yang selama ini diam bukan semata-mata diam setelah diberlakukan tidak adil, karena  sewaktu-waktu mereka yang selama ini diam  bisa marah dan meledak. Marah bisa merupakan jalan keluar atas ketidakmampuan terhadap sesuatu. Selain itu pada saat kita  berada pada kondisi kelelahan baik fisik maupun kelelahan psikis kemarahan juga bisa timbul.

Dengan mengenali faktor-faktor yang bisa mencetuskan kemarahan, kita semua bisa mengidentifikasi akar masalah kenapa kita marah, kenapa suatu masyarakat bisa diprovokasi, kenapa masyarakat bisa tawuran yang berujung kematian kenapa mahasiswa atau siswa bisa saling melukai satu sama lain.

Tentu kita semua berharap konflik yang ada baik dilevel pimpinan negara maupun masyarakat bisa segera bisa diredam agar konflik ini tidak terus berlanjut dan merembet kemana-mana.

Sekali lagi marah harus dikendalikan jika tidak terkendali bisa menjadi menjadi sumber petaka.


Dr.dr.H. Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH,MMB,FACP.
Praktisi Klinis

Deforestasi dan Kebakaran Hutan Gerogoti Paru-Paru Dunia


Hutan Indonesia merupakan bagian penting dari paru-paru kehidupan dunia. Kelestarian hutan Indonesia tidak hanya penting untuk bangsa Indonesia, namun juga bagi bangsa lain di seluruh dunia. Selain itu,  hutan adalah sumber daya alam yang sangat penting karena di dalamnya terkandung keanekaragaman hayati, pengatur tata air dan kesuburan tanah, pencegah banjir dan erosi, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, kebudayaan, rekreasi dan pariwisata.

Oleh karena itu, pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No. 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No. 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) dan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan. Namun, peraturan yang ada belum secara efektif membendung gangguan-gangguan yang terjadi pada hutan-hutan di Indonesia.

Terutama ancaman akan deforestasi (penggundulan hutan), fakta yang sangat menyedihkan bahwa sekitar 70% luasan deforestasi justru terjadi di areal hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Deforestasi di Provinsi Riau misalnya, terjadi di areal yang ditetapkan berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) 1986. Sebaran wilayah perkebunan mayoritas berada di areal HPK tersebut.

Menyingkapkan penggunaan hutan produksi di kawasan tersebut secara hukum kehutanan legal untuk dikonversi menjadi areal perkebunan. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan disebutkan Riau memiliki kawasan hutan seluas 9,45 juta hektar. Hampir 50% dari luas kawasan hutan tersebut secara hukum ditetapkan sebagai areal konversi untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan. Dari 9,45 juta hektar total luas hutan Riau itu, 5,1 juta hektar di antaranya berada dalam status tak berhutan.

Hentikan Deforestasi

Tetapi hampir 70% dari deforestasi merupakan areal hutan produksi yang secara hukum dapat dikonversi untuk kepentingan budi daya non-kehutanan. Data di Kementerian Kehutanan itu menunjukkan luas areal hutan produksi yang dapat dikonversi di wilayah Riau dalam kondisi masih berhutan mencapai angka 982.620 hektar. Cepat atau lambat, areal hutan ini memang dapat dikonversi secara legal.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan, pemberian akses lebih besar terhadap sumber daya hutan kepada rakyat diharapkan menjamin terpenuhinya kebutuhan ekonomi masyarakat sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca dari kegiatan penggundulan hutan. Pada waktu pertemuan konferensi tingkat tinggi (KTT) Rio+20 bulan lalu Rio de Janeiro, Brasil, Indonesia menyatakan telah berhasil menurunkan aksi deforestasi.

“Tahun 1998 Indonesia mengalami deforestasi yang mengakibatkan 3,5 juta hektar per tahun hilang, tapi di tahun 2011 angka itu turun menjadi 310 ribu hektar per tahun, artinya tinggal 10% lagi,” jelasnya pada acara Rakernas Serikat Perusahaan Pers (SPS) di Pekanbaru, Sabtu (14/7).

Riau merupakan pusat percepatan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) secara nasional. Lebih dari 50% program percepatan HTI berlokasi di provinsi tersebut, dengan luasan 1,6 juta hekare. Dari luas hutan produksi di Riau yang mencapai 4,1 juta hektar, hampir 40% merupakan areal HTI.

Dalam hal ini, perlu diapresiasi terbitnya Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa hutan produksi yang tidak produktif adalah hutan yang dicadangkan oleh Menteri Kehutanan sebagai areal pembangunan HTI. PP itu menjadi langkah Menteri Kehutanan yang mewajibkan pelaku usaha kehutanan menandatangani pakta integritas dalam pelaksanaan deliniasi mikro di areal konsesi HTI.

Kita perlu mencermati pula praktik dan mekanisme deliniasi mikro yang diterapkan Kementerian Kehutanan dalam program percepatan pembangunan HTI adalah kebijakan yang tepat. Ini karena program tersebut dapat dijalankan secara paralel dengan upaya mempertahankan kawasan hutan lindung dan blok-blok hutan alam yang kondisinya masih baik, yang terdapat di areal konsesi HTI.

Jeda Tebang

Kementerian Kehutanan memberlakukan jeda tebang dengan tidak menerbitkan izin-izin baru, melainkan menggalakkan kegiatan menanam pohon yang pada tahun 2010 telah melampaui target 1 miliar pohon. Gubernur Riau Rusli Zainal pun turut mendukung program pemerintah dalam penghijauan secara nasional dan program Green PON XVIII, sehubungan dengan Pekan Olahraga Nasional dan Riau menjadi tuan rumah pada September mendatang.

Namun, Pemerintah provinsi Riau juga berharap tidak ada kebakaran hutan saat PON XVIII berlangsung. Karena, bila dilihat dari kasus kebakaran hutan dan lahan tahun 2011 lalu, diketahui puncak terjadinya titik api pada Juli sampai September. Sesuai instruksi Rusli, pihaknya saat ini telah membentuk tim khusus penanggulangan bencana kebakaran hutan yang melibatkan satuan kerja dari Pemprov Riau sampai ke kabupatan dan kota, tim ini tentunya juga melibatkan Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan dibawah koordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau.

Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang cukup sering terjadi. Di Provinsi Riau, kebakaran hutan dapat dikatakan sudah menjadi bencana tahunan. Akibatnya dapat menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca.

Terlebih lagi banyak kerugian dalam berbagai bidang yang sulit dikuantifikasikan. Bidang-bidang tersebut antara lain bidang pariwisata, politik, sosial budaya serta pandangan internasional terhadapnegara tersebut. Di sisi lain upaya pencegahan dan pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang optimal.

Lestarikan Hutan

Oleh karena itu, perlu perbaikan secara menyeluruh, mulai dari kesadaran setiap individu untuk melestarikan hutan, integritas dari setiap pihak yang terkait langsung dengan pengendalian pembakaran hutan dan lahan, hingga pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas terhadap kasus kebakaran hutan. Pemerintah pun perlu memberikan perhatian penuh terhadap masalah ini, tidak hanya darisegi peraturan tetapi juga menyokong fasilitas.

Hutan-hutan Indonesia, termasuk di Riau, hanya bisa kita selamatkan dengan penegakan hukum yang tegas dan tak pandang bulu. Juga harus diiringi dengan perlindungan lingkungan, revitalisasi reboisasi, dan aksi-aksi ramah lingkungan lainnya. Segala bentuk deforestasi dan penebangan liar tidak boleh ditolerir.

Hutan kita adalah paru-paru negeri, bahkan paru-paru dunia. Kalau bukan kita sendiri yang peduli untuk menyelamatkannya, siapa lagi? Pemerintah tidak boleh ragu menindak para pembalak liar beserta cukong-cukong mereka. Kalau perlu dengan tangan besi, agar hutan negeri ini tidak musnah ditelan kejahatan tingkat tinggi.

(penulis : http://id.linkedin.com/in/nopvie)

(pernah terbit di http://www.neraca.co.id/2012/07/15/deforestasi-dan-kebakaran-hutan-gerogoti-paru-paru-dunia/)

Kenaikan Harga Tak Dinikmati Petani


Kenaikan harga selalu menjadi agenda rutin tahunan. Menjelang puasa dan hari raya harga kebutuhan pangan mengalami kenaikan tidak hanya 10%, tapi hingga 30%. Badan Pusat Statistik beberapa waktu lalu mencatat untuk cabai merah meningkat hingga 100%. Mengapa bisa terjadi? berikut paparan Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia Ngadiran kepada NERACA.

Menurut Anda, kenapa harga-harga kebutuhan pokok tersebut melonjak begitu tinggi?

Pertama, adanya iklim yang tidak menentu mengakibatkan beberapa hasil panen tidak berhasil atau gagal panen, sehingga tidak mencapai target untuk memenuhi kebutuhan. Kedua, arus distribusi terganggu akibat infrastruktur yang tidak memadai, seperti jalanan rusak, akses terputus. Belum lagi, masalah kemacetan yang terjadi antar Sumatra dengan Jawa, akibatnya komoditas ini jadi terlalu lama di jalan dan belum tentu semuanya memiliki daya tahan yang kuat. Sehingga kualitasnya menurun. Dampaknya tentu kerugian, dan mengandalkan komoditas yang masih bagus untuk menutupi kerugiannya, harga menjadi naik.

Dalam pengamatan Anda, apakah ada juga peran spekulan yang ikut mendorong kenaikan harga?

Itu faktor ketiganya, terutama bagi yang punya uang, gudang dan jaringan. Para spekulan akan memanfaatkan situasi seperti ini, karena tahu masyarakat akan tetap membeli walaupun harga sudah dinaikkan, untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, pihak yang paling diuntungkan dengan kenaikan harga menjelang puasa adalah pedagang di pasar

Apakah keuntungan tersebut dinikmati hingga petani atau produsen?

Tidak, karena petani itu berurusan dengan tengkulak (ijon). Mereka mau menanam, membutuhkan benih, pupuk dan pestisida, para tengkulak yang membiayai petani. Otomatis saat panen, petani tidak bisa menjualkan hasil panennya ke orang lain, karena dia harus mengembalikan uang sudah dipinjam melalui ijon. Sehingga, menyebabkan harga yang dijual ke tengkulak lebih rendah daripada harga pasaran.

Bukannya Pemerintah sudah membuka akses perbankan ke para petani?

Ada, tapi masalahnya apakah petani mengerti menggunakan perbankan, yang ada malah digunakan untuk pencitraan.

Sepertinya hampir tiap tahun, mengenai target produksi pangan tidak pernah tercapai, apa yang harusnya dilakukan Pemerintah?

Lakukan penyuluhan, biar petani-petani lebih cerdas mulai dari penanaman, pemeliharaan hingga saat panen. Permasalahan sekarang ini, peminat menjadi petani hampir tidak ada, sedangkan kita perlu memenuhi kebutuhan pangan. Ambil contoh masalah irigasi, dari jaman Belanda tidak ada teknologi baru bagaimana mengairi sawah, apabila sedang mengalami puso (musim kering yang panjang). Pemerintah tidak pernah memikirkan bagaimana mengantipasi tersebut, sedangkan pertumbuhan penduduk lebih tinggi daripada ketersediaan pangannya. Serta tidak adanya sosialisasi Pemerintah, karena dulu sempat ada program Perkebunan Keluarga, yang mana setiap keluarga menanam paling tidak 1 komoditas pangan. Diutamakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga tersebut, apabila ternyata ada kelebihan stok, kan bisa dijual ke pasar. Namun, program itu tidak berjalan, ini juga yang mengakibatkan turunnya minat masyarakat menjadi petani.

Jadi pemerintah perlu menyiapkan SDM untuk bidang pertanian?

Iya. Kalau tidak ada, darimana kebutuhan pangan rakyat terpenuhi, apa mau terus-terusan impor. Indonesia ini kan negara agraris, akibat dari impor itu juga yang menyebabkan petani menjadi malas. Ya iya, karena percuma dia menanam, hasil panen tidak bisa diserap. kemudian yang impor bahkan bisa lebih murah dan kualitas lebih baik, daripada yang kita punya. Ini juga salah satu efek dari infrastruktur yang tidak memadai yang menyebabkan terjadinya harga yang fluktuatif. Bagaimana mau swasembada pangan, apabila komoditas yang sebenarnya bisa kita produksi, tapi dihantam dengan produk impor.

Lantas, apakah impor itu tidak bisa dihentikan?

Kita tidak alergi impor, tapi tidak perlu dilakukan impor selama itu komoditas di dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan. Impor itu dilakukan kalau memang stok kita ini habis, tidak bisa mencukupi kebutuhan domestik. Tapi, tidak serta merta dengan alasan tersebut lalu bebas mengimpor, bagaimana menjaga ketahanan pangan kita. Masalahnya kan kembali lagi, perlu penyuluhan, SDM serta kemampuan meningkatkan teknologi. Masa dari tahun 80an tidak ada kemajuan-kemajuan.

Mengenai akses ke pasar, apakah menjadi kendala karena infrastruktur yang tidak memadai?

Itu yang sebenarnya paling penting, lihat saja pada kenyataannya, jalan banyak yang bolong-bolong dan rusak, hal ini menyebabkan waktu tempuh yang lebih lama petani untuk mencapai sentra pasarnya, artinya ada biaya yang harus dikeluarkan. Ini yang menyebabkan petani mau menjual dengan harga tinggi pun, tapi belum tentu bisa diterima oleh pasar, akhirnya merugi.

Kenapa infrastruktur tidak pernah diperbaiki?

Karena Pemerintah menjadikannya sebagai proyek, bukannya sebagai fasilitas untuk arus distribusi. Padahal itu juga bisa meningkatkan perekonomian tiap-tiap daerah, dengan akses yang mudah, tanpa harus kena pungutan liar. Coba saja lihat, kenapa jalur pantai utara (Pantura) selalu diperbaiki, karena itu proyek. Seharusnya buat jalanan itu, yang bisa tahan lama, jangan sebentar-sebentar tambal sulam, belum lagi petugas-petugas atau mafia pajak yang tiap daerah pungutin. Bagimana bisa menekan biaya logistik kalau caranya begitu.

Tanpa terasa selama 30 tahun lebih, polemik mengenai infrastruktur, teknologi serta SDM di bidang pertanian masih menjadi tugas besar yang harus dikerjakan Negeri ini. Padahal, untuk teknologi ada banyak penelitian-penelitian yang dilakukan oleh putra-putri Bangsa, bahkan sering mendapatkan penghargaan ataupun juara hingga di tingkat internasional. Namun, mengapa hasil karya putra-putri Bangsa itu tidak ada satu pun dilirik untuk kepentingan Ibu Pertiwi, malah lebih banyak Negara sahabat yang memanfaat keahlian mereka.

Sumber : http://www.neraca.co.id/2012/07/18/kenaikan-harga-tak-dinikmati-petani/