Kenaikan Harga Tak Dinikmati Petani
Kenaikan harga selalu menjadi agenda rutin tahunan. Menjelang puasa dan hari raya harga kebutuhan pangan mengalami kenaikan tidak hanya 10%, tapi hingga 30%. Badan Pusat Statistik beberapa waktu lalu mencatat untuk cabai merah meningkat hingga 100%. Mengapa bisa terjadi? berikut paparan Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia Ngadiran kepada NERACA.
Menurut Anda, kenapa harga-harga kebutuhan pokok tersebut melonjak begitu tinggi?
Pertama, adanya iklim yang tidak menentu mengakibatkan beberapa hasil panen tidak berhasil atau gagal panen, sehingga tidak mencapai target untuk memenuhi kebutuhan. Kedua, arus distribusi terganggu akibat infrastruktur yang tidak memadai, seperti jalanan rusak, akses terputus. Belum lagi, masalah kemacetan yang terjadi antar Sumatra dengan Jawa, akibatnya komoditas ini jadi terlalu lama di jalan dan belum tentu semuanya memiliki daya tahan yang kuat. Sehingga kualitasnya menurun. Dampaknya tentu kerugian, dan mengandalkan komoditas yang masih bagus untuk menutupi kerugiannya, harga menjadi naik.
Dalam pengamatan Anda, apakah ada juga peran spekulan yang ikut mendorong kenaikan harga?
Itu faktor ketiganya, terutama bagi yang punya uang, gudang dan jaringan. Para spekulan akan memanfaatkan situasi seperti ini, karena tahu masyarakat akan tetap membeli walaupun harga sudah dinaikkan, untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, pihak yang paling diuntungkan dengan kenaikan harga menjelang puasa adalah pedagang di pasar
Apakah keuntungan tersebut dinikmati hingga petani atau produsen?
Tidak, karena petani itu berurusan dengan tengkulak (ijon). Mereka mau menanam, membutuhkan benih, pupuk dan pestisida, para tengkulak yang membiayai petani. Otomatis saat panen, petani tidak bisa menjualkan hasil panennya ke orang lain, karena dia harus mengembalikan uang sudah dipinjam melalui ijon. Sehingga, menyebabkan harga yang dijual ke tengkulak lebih rendah daripada harga pasaran.
Bukannya Pemerintah sudah membuka akses perbankan ke para petani?
Ada, tapi masalahnya apakah petani mengerti menggunakan perbankan, yang ada malah digunakan untuk pencitraan.
Sepertinya hampir tiap tahun, mengenai target produksi pangan tidak pernah tercapai, apa yang harusnya dilakukan Pemerintah?
Lakukan penyuluhan, biar petani-petani lebih cerdas mulai dari penanaman, pemeliharaan hingga saat panen. Permasalahan sekarang ini, peminat menjadi petani hampir tidak ada, sedangkan kita perlu memenuhi kebutuhan pangan. Ambil contoh masalah irigasi, dari jaman Belanda tidak ada teknologi baru bagaimana mengairi sawah, apabila sedang mengalami puso (musim kering yang panjang). Pemerintah tidak pernah memikirkan bagaimana mengantipasi tersebut, sedangkan pertumbuhan penduduk lebih tinggi daripada ketersediaan pangannya. Serta tidak adanya sosialisasi Pemerintah, karena dulu sempat ada program Perkebunan Keluarga, yang mana setiap keluarga menanam paling tidak 1 komoditas pangan. Diutamakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga tersebut, apabila ternyata ada kelebihan stok, kan bisa dijual ke pasar. Namun, program itu tidak berjalan, ini juga yang mengakibatkan turunnya minat masyarakat menjadi petani.
Jadi pemerintah perlu menyiapkan SDM untuk bidang pertanian?
Iya. Kalau tidak ada, darimana kebutuhan pangan rakyat terpenuhi, apa mau terus-terusan impor. Indonesia ini kan negara agraris, akibat dari impor itu juga yang menyebabkan petani menjadi malas. Ya iya, karena percuma dia menanam, hasil panen tidak bisa diserap. kemudian yang impor bahkan bisa lebih murah dan kualitas lebih baik, daripada yang kita punya. Ini juga salah satu efek dari infrastruktur yang tidak memadai yang menyebabkan terjadinya harga yang fluktuatif. Bagaimana mau swasembada pangan, apabila komoditas yang sebenarnya bisa kita produksi, tapi dihantam dengan produk impor.
Lantas, apakah impor itu tidak bisa dihentikan?
Kita tidak alergi impor, tapi tidak perlu dilakukan impor selama itu komoditas di dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan. Impor itu dilakukan kalau memang stok kita ini habis, tidak bisa mencukupi kebutuhan domestik. Tapi, tidak serta merta dengan alasan tersebut lalu bebas mengimpor, bagaimana menjaga ketahanan pangan kita. Masalahnya kan kembali lagi, perlu penyuluhan, SDM serta kemampuan meningkatkan teknologi. Masa dari tahun 80an tidak ada kemajuan-kemajuan.
Mengenai akses ke pasar, apakah menjadi kendala karena infrastruktur yang tidak memadai?
Itu yang sebenarnya paling penting, lihat saja pada kenyataannya, jalan banyak yang bolong-bolong dan rusak, hal ini menyebabkan waktu tempuh yang lebih lama petani untuk mencapai sentra pasarnya, artinya ada biaya yang harus dikeluarkan. Ini yang menyebabkan petani mau menjual dengan harga tinggi pun, tapi belum tentu bisa diterima oleh pasar, akhirnya merugi.
Kenapa infrastruktur tidak pernah diperbaiki?
Karena Pemerintah menjadikannya sebagai proyek, bukannya sebagai fasilitas untuk arus distribusi. Padahal itu juga bisa meningkatkan perekonomian tiap-tiap daerah, dengan akses yang mudah, tanpa harus kena pungutan liar. Coba saja lihat, kenapa jalur pantai utara (Pantura) selalu diperbaiki, karena itu proyek. Seharusnya buat jalanan itu, yang bisa tahan lama, jangan sebentar-sebentar tambal sulam, belum lagi petugas-petugas atau mafia pajak yang tiap daerah pungutin. Bagimana bisa menekan biaya logistik kalau caranya begitu.
Tanpa terasa selama 30 tahun lebih, polemik mengenai infrastruktur, teknologi serta SDM di bidang pertanian masih menjadi tugas besar yang harus dikerjakan Negeri ini. Padahal, untuk teknologi ada banyak penelitian-penelitian yang dilakukan oleh putra-putri Bangsa, bahkan sering mendapatkan penghargaan ataupun juara hingga di tingkat internasional. Namun, mengapa hasil karya putra-putri Bangsa itu tidak ada satu pun dilirik untuk kepentingan Ibu Pertiwi, malah lebih banyak Negara sahabat yang memanfaat keahlian mereka.
Sumber : http://www.neraca.co.id/2012/07/18/kenaikan-harga-tak-dinikmati-petani/