Tenggelam Lebih Cepat

Sekitar 10 tahun lalu, saya masih belum percaya kalau bumi ini bisa panas hingga melelehkan es yang berada di kutub utara maupun selatan. Meski, saya mengetahui informasi suhu di inti perut bumi sangat tinggi dari pelbagai ilmu yang dipelajari, namun inti perut bumi itu sangat jauh, mungkin ribuan kilometer (km) dari daratan di mana kita berpijak. Sepertinya, mustahil es sebagai penyeimbang antara lautan dan daratan dapat meleleh seluruhnya.

Memang, pada abad-abad yang lalu para ilmuwan belum tahu, bahwa bumi kita sebenarnya memiliki inti. Sampai muncul pemikiran untuk masuk dan melihat langsung ke dalam perut bumi kita. Secara teori, melakukan perjalanan kedalam inti bumi adalah suatu hal yang mustahil untuk dilaksanakan, karena besarnya tekanan dan suhu di dalam perut bumi kita. Bahkan dengan melakukan pengeboran, mungkin hanya bisa menembus sampai di kedalaman 12 km. Namun, berkat kemajuan teknologi instrumen pengukuran dan pengamatan saat ini, telah membuka cara baru untuk memetakan apa saja yang ada di perut planet ini.

Tetapi, bumi keseluruhan bukan hanya inti. Terdapat atmosfer, lapisan gas yang melindungi permukaan planet dari benda-benda asing di luar angkasa, termasuk letupan lidah matahari. Di bumi, atmosfer terdapat dari ketinggian 0 km di atas permukaan tanah, sampai dengan sekitar 560 km dari atas permukaan bumi. Atmosfer tersusun atas beberapa lapisan, yang dinamai menurut fenomena yang terjadi di lapisan tersebut.

Studi tentang atmosfer mula-mula dilakukan untuk memecahkan masalah cuaca, fenomena pembiasan sinar matahari saat terbit dan tenggelam, serta kelap-kelipnya bintang. Dengan peralatan yang sensitif yang dipasang di wahana luar angkasa, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang atmosfer berikut fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya.

Atmosfer bumi terdiri atas nitrogen (78.17 persen) dan oksigen (20.97 persen), dengan sedikit argon (0.9 persen), karbondioksida (variabel, tetapi sekitar 0.0357 persen), uap air, dan gas lainnya. Atmosfer melindungi kehidupan di bumi dengan menyerap radiasi sinar ultraviolet dari matahari dan mengurangi suhu ekstrem di antara siang dan malam. 75 persen dari atmosfer ada dalam 11 km dari permukaan planet.

Karena sifatnya berbentuk gas, maka dengan mudah suhu di atmosfer berubah-ubah tergantung dari tebal tipis masing-masing lapisannya. Penjelasan Nasir, dalam Handoko (1995) mengemukakan perubahan suhu udara di atmosfer secara vertikal (menurut ketinggian) berbeda-beda dapat dikelompokkan menjadi 3 hal,
  1. dT/dz > 0, suhu naik, dengan bertambahnya ketinggian. Hal ini disebut inversi suhu
  2. dT/dz = 0, suhu tetap walaupun ketinggian berubah. Hal ini disebut isotermal
  3. dT/dz < 0, suhu udara turun dengan bertambahnya ketinggian disebut lapse rate

Ada beberapa peran penting atmosfer, pertama melindungi bumi dari pancaran radiasi matahari yang bersuhu 6000 derajat Kelvin. Kedua, dalam siklus hidrologi pada proses penampungan air dari permukaan bumi (daratan dan lautan). Ketiga, mengandung oksigen yang dibutuhkan makhluk hidup untuk bernapas. Keempat, merupakan medium tempat bercampurnya beraneka unsur kimia yang berdampak pada kualitas udara.

Suhu tinggi di inti bumi mungkin terlalu jauh untuk melelehkan es, namun perubahan struktur gas di atmosfer, sangat memungkinkan dapat mencairkan es di kedua kutub. Hingga ada pemikiran, bila es tersebut lenyap, maka bumi akan tenggelam karena luapan air dari lelehan es yang begitu banyak, akibatnya membanjiri daratan-daratan, yang mungkin sebelumnya, belum pernah mengalami banjir.

Efek Rumah Kaca

Adalah gas rumah kaca yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktivitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai.

Karbondioksida (CO2) adalah gas terbanyak kedua. Timbul dari berbagai proses alami seperti letusan vulkanik; pernapasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida), dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan). Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya.

Sehingga, ada beberapa pengelompokan gas yang menyebabkan perubahan suhu di atmosfer

            A.    Uap Air

Merupakan gas rumah kaca yang timbul secara alami dan bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktivitas manusia tidak secara langsung memengaruhi konsentrasi uap air, kecuali pada skala lokal.
Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap air di lapisan atmosfer, dengan kelembapan relatif yang agak konstan. Meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca, mengakibatkan meningkatnya temperatur; dan kembali semakin meningkatkan jumlah uap air di atmosfer.
Keadaan ini terus berkelanjutan sampai mencapai titik ekuilibrium (kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air berperan sebagai umpan balik positif terhadap aksi yang dilakukan manusia yang melepaskan gas-gas rumah kaca seperti CO­2. Perubahan dalam jumlah uap air di udara juga berakibat secara tidak langsung melalui terbentuknya awan.

            B.     Karbondioksida

Manusia telah meningkatkan jumlah karbondioksida yang dilepas ke atmosfer ketika mereka membakar bahan bakar fosil, limbah padat, dan kayu untuk menghangatkan bangunan, menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Pada saat yang sama, jumlah pepohonan yang mampu menyerap karbondioksida semakin berkurang akibat perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan pertanian.

Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, aktivitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya. Pada 1750, terdapat 281 molekul karbondioksida pada satu juta molekul udara (281 ppm). Pada Januari 2007, konsentrasi karbondioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen).

Jika prediksi saat ini benar, pada tahun 2100, karbondioksida akan mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm. Estimasi yang lebih tinggi malah memperkirakan bahwa konsentrasinya akan meningkat tiga kali lipat bila dibandingkan masa sebelum revolusi industri.

            C.     Metana

Merupakan komponen utama gas alam juga termasuk gas rumah kaca. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan. Sejak permulaan revolusi industri pada pertengahan 1700-an, jumlah metana di atmosfer telah meningkat satu setengah kali lipat.

            D.    Nitrogen Oksida

Merupakan gas insulator panas yang sangat kuat, yang dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Nitrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. Konsentrasi gas ini telah meningkat 16 persen bila dibandingkan masa pre-industri.

            E.     Gas lainnya

Gas rumah kaca lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur. Campuran berflourinasi dihasilkan dari peleburan alumunium. Hidrofluorokarbon (HCFC-22) terbentuk selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan (furniture), dan tempat duduk di kendaraan. Lemari pendingin di beberapa negara berkembang masih menggunakan klorofluorokarbon (CFC) sebagai media pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon (lapisan yang melindungi bumi dari radiasi ultraviolet). Selama masa abad ke-20, gas-gas ini telah terakumulasi di atmosfer.

Para ilmuan telah lama mengkhawatirkan tentang gas-gas yang dihasilkan dari proses manufaktur akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Mulai 2000, para ilmuan mengidentifikasi bahan baru yang meningkat secara substansial di atmosfer. Bahan tersebut adalah trifluorometil sulfur pentafluorida. Konsentrasi gas ini di atmosfer meningkat dengan sangat cepat, yang walaupun masih tergolong langka di atmosfer, tetapi gas ini mampu menangkap panas jauh lebih besar dari gas-gas rumah kaca yang telah dikenal sebelumnya. Hingga saat ini sumber industri penghasil gas ini masih belum teridentifikasi.

Bukti Mulai Nyata

Belum lama ini, penelitian Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) memperlihatkan bahwa lapisan es di Kutub Utara tampak mulai menyusut. Telah mengungkapkan bahwa es di wilayah laut Arktik yang tertua dan tertebal itu mulai menghilang dengan kecepatan yang sangat cepat. Bahwa ukuran es menyusut drastis selama 30 tahun terakhir, memberikan bukti pada teori bumi memasuki periode pemanasan global. Cepatnya lelehan es tertua yang ada membuat laut Arktik makin rentan pada peningkatan suhu lebih lanjut di musim panas.

Meski terdapat teori siklus 9 tahun, dimana es laut akan tumbuh selama beberapa tahun, yang berarti ada pemulihan pada es laut dalam 3 tahun, namun hasil studi juga menunjukkan bahwa lelehan es berada di tingkat 15,1 persen per dekade. Hal itu tentu saja membuat suhu di bumi terus meningkat. Rekor baru lelehan es tersebut menunjukkan 74.030 km persegi es meleleh setiap harinya.

Studi ini menyimpulkan, kenaikan tingkat permukaan laut di masa depan akan jauh lebih cepat dibandingkan prediksi para ilmuwan. Terjadi sama di kutub selatan Antartika kemungkinan telah memicu pergeseran gletser yang tidak stabil meluncur ke bawah, dan akhirnya ke laut. Jumlah lapisan es di Antartika terus menyusut. Diketahui dari studi, bahwa tak hanya mencair karena cuaca panas, es di kutub selatan itu juga meleleh di bagian bawahnya karena tergerus arus air hangat yang mengalir di sana.

Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Nature, bongkahan es di kawasan barat Antartika kehilangan ketebalan hingga tujuh meter lapisan es yang mengapung, setiap tahunnya. Sebelum ini, peneliti berasumsi bahwa penurunan ketebalan lapisan es itu secara umum diakibatkan oleh udara yang menghangat. Dua puluh bongkahan es yang dipantau menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka meleleh akibat air hangat yang mengalir di bawahnya. Adapun perubahan arah angin mendorong air yang lebih hangat ini lebih dekat dan berada di bawah bongkahan es yang mengambang.

Jika seluruh lapisan es Antartika Barat meleleh, yang kemungkinan akan terjadi dalam beberapa dekade, ilmuwan memperkirakan bahwa permukaan air laut yang dalam akan naik hingga 3 meter.

Dampak Terlihat di Sekitar Kita

Tidak perlu jauh-jauh harus melihat kondisi tersebut hingga pergi ke kedua kutub bumi. Lihatlah pantai terdekat kita, saya baru saja diperlihatkan secara nyata oleh seorang teman bernama Ivan, memperlihatkan kebutaan manusia seakan-akan peristiwa pemanasan global hanya omongan belaka. Seluruh gambar diambil pada tanggal 9 Agustus 2013.

Pantai Mutiara. Menunjukkan ada batasan peningkatan air laut meski baru sedikit, tapi ketika air laut pasang terlebih lagi saat bulan purnama, maka luapan air laut membanjiri perumahan di sekitarnya.
Tak puas memperlihatkan bukti nyata, Ivan mengajak ke dermaga yang ada di sekitar Pantai Mutiara, Jakarta Utara. Pertama kali melihat, saya mengira material yang berada di bawah permukaan air adalah sebagai penopang atau pondasi untuk membuat dermaga. Namun, Ivan mengatakan, “Itu posisi dermaga kurang lebih 3-5 tahun yang lalu, karena naiknya permukaan air laut mau tidak mau harus meninggikan dermaga,”. Diperlihatkan juga, dermaga yang sudah tenggelam, “Dan itu, yang kamu lihat kayu-kayu berdiri berjejeran adalah dermaga, kini sudah tenggelam,” terangnya. Bisa dibayangkan dalam 5 tahun permukaan air laut sudah naik sekitar 60 cm mungkin mencapai 1 meter.




Lagi, Ivan memperlihatkan areal yang dulunya merupakan jogging track, tapi sudah tidak dapat dipergunakan karena dapat membahayakan bagi pengguna jalur tersebut.


“Batu-batuan ini yang sudah sengaja ditaruh untuk menahan luapan air laut, tapi sudah tak mampu. Hingga dibuat lagi dinding penahan, dan saat bulan purnama dinding itupun juga tak sanggup menahan meluapnya air laut, akibatnya membanjiri perumahan sekitar. Sampah inipun juga bukan dari warga sekitar, tapi yang terbawa oleh arus laut,” jelas Ivan.

Tanpa penjelasan Ivan, saya akan mengira bahwa infrastruktur yang dibuat hanya untuk membatasi air laut dengan daratan. Ternyata, beton-beton itu dibuat untuk menahan luapan air laut yang bisa datang kapan saja. Terlintas pertanyaan, apa yang seharusnya dilakukan, setidaknya datangnya air bagaikan air bah bisa tertahan lebih lama?

Ivan mengajak saya memperlihatkan kondisi hutan mangrove saat ini, yang sebenarnya hutan itulah mampu menjawab pertanyaan tadi. Namun, hutan mangrove Muara Angke yang dikatakan sebagai tempat wisata, sepertinya gambaran mangrove yang hijau dengan fasilitas dan kenyamanan yang memadai sudah tidak terlihat. Padahal, ini bagian yang dilindungi dan menjadi proyek Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan.

Proyek Pengembangan Pusat Pendidikan Lahan Basah Suaka Margasatwa, Muara Angke - Jakarta Utara Tahun Anggaran 2007
“Dulu masih bagus dan hijau, bahkan kamu bisa lihat kera disekitar sini. Tapi, tidak ada yang merawat maupun mengelola. Lihat kondisi jembatannya, lapuk, rapuh, membahayakan pengunjung, apakah pantas jadi tempat wisata? 3-5 tahun lalu, saya masih merasakan kokohnya jembatan ini, sekarang? Rusakpun tidak ada yang peduli,” ujar Ivan sambil menatap mirisnya pengelolaan hutan mangrove.


Hingga terlintas pertanyaan berikutnya, kenapa lebih mementingkan pembangunan hutan beton yang jelas tidak dapat menahan atau menyerap air supaya tidak selalu mendatangkan banjir tiba-tiba? sementara ada alam yang mampu, dan lebih aman menjaga kelestarian lingkungan, bahkan berpotensi sebagai sumber pemasukan daerah, bila itu yang dicari para birokrat. Bagaimana nasib generasi berikutnya, bila tidak dimulai dari sekarang. Kita mungkin masih bisa tertawa menikmati kondisi dengan menyelamatkan diri sendiri saat ini, tapi lupa yang akan menanggung kelalaian kita dalam menjaga keasrian alam adalah anak cucu kita. 

Pada saatnya nanti. Tak bisa bersembunyi. Kitapun menyesali, kita merugi -Efek Rumah Kaca / Pandai Besi-