Opini ini ditulis oleh
Dian Eka Mayasari
Student of the University of Sheffield, UK, Ph.D in Marketing Program
Di tengah riuhnya demo mahasiswa UGM pada hari pendidikan nasional 2 Mei lalu (yang secara garis besar dapat saya simpulkan bahwa ujung-ujungnya duit), saya sempat berfikir, ada satu sumber pendanaan yang sepertinya kurang tergali atau mungkin belum banyak dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia, yaitu endowment fund.
Jika merunut pada definisi yang berkaitan dengan investasi, maka endowment fund adalah:
“An endowment fund is an investment fund set up by an institution in which regular withdrawals from the invested capital are used for ongoing operations or other specified purposes. Endowment funds are often used by nonprofits, universities, hospitals and churches.” (investopedia)
Dalam Bahasa Indonesia bisa saya artikan sebagai dana abadi yang diinvestasikan, lalu hasil investasinya digunakan untuk keperluan operasional atau pengembangan suatu institusi.
Gampangannya sih, seperti LPDP. Ada tiga kementrian penyandang dana, lalu dana tersebut diinvestasikan oleh LPDP, hasil investasinya untuk beasiswa, pembiayaan riset produktif dan rehabilitasi fasilitas pendidikan. Hal yang sama untuk skala perguruan tinggi. Kampus membuat wadah untuk menampung dana sumbangan, yang akan dijadikan dana abadi untuk diinvestasikan, lalu hasil investasinya digunakan untuk operasional kampus. Dana sumbangan bisa berasal dari manapun, namun lazimnya sebagian besar berasal dari Alumni.
Harvard University dalam lamannya menyatakan bahwa sepertiga biaya operasionalnya dibiayai oleh endowment fund, sisanya dari SPP, pemerintah, dan industri. Dana abadi (principal) untuk endowment fund di Harvard University sebagian besar berasal dari alumni. Tidak bisa dipungkiri bahwa Harvard University mencetak banyak alumni yang sukses, dan pada akhirnya alumni tersebut menyumbang bagi kampusnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Terus terang saya tidak punya data mengenai endowment fund kampus-kampus di Indonesia. Namun yang sering menjadi contoh adalah ITB. Dibanding kampus-kampus lain di Indonesia, ITB dianggap memiliki endowment fund yang cukup besar. Namun saya tidak punya data bagaimana pengelolaannya. Entah bagaimana, branding ITB membawa kebanggaan tersendiri bagi mahasiswanya, bahkan ketika sudah menjadi alumni.
Hubungan alumni ITB terlihat sangat dinamis dan kuat, terbukti dengan banyaknya kegiatan yang dilakukan Ikatan Alumni (IA) ITB, dan adanya kartu co-branding antara Bank Mandiri dengan IA-ITB. Menurut bapak dan ibu dosen senior saya, sangat mudah bagi ITB untuk menggerakkan dan meminta dukungan alumninya. Esprit d’ corp tersebut belum dimiliki oleh alumni perguruan tinggi lain.
UGM memiliki endowment fund walau belum resmi dan belum dikelola secara profesional oleh fund manager. UGM juga sudah mengeluarkan Reksadana UGM I dan 2 untuk membiayai pembangunan. Namun, jumlah reksadana tersebut masih sangat kecil, yaitu hanya sebesar kurang lebih Rp10 milyar rupiah. Pendapatan hibah tahun 2014 besarnya hanya Rp3 milyar. Bandingan dengan total aset UGM sebesar Rp8 triliun, dan pengeluaran operasional pertahun kurang lebih sebesar Rp1.5 triliun (Laporan keuangan audited, 2014).
Yang hendak saya utarakan di sini adalah, mungkin sudah saatnya bagi perguruan tinggi untuk mulai membangun dan mengelola jejaring alumni dengan lebih serius. Bahkan semenjak belum menjadi alumni, mahasiswa baiknya diingatkan (sukur-sukur didoktrin) untuk bangga dan tetap terhubung dengan kampus saat sudah lulus dan menjadi alumni. Jika memang tidak ada perundang-undangan yang melarang Perguruan Tinggi membuat endowment fund, merupakan langkah strategis yang bisa dilakukan untuk membuat wadah dana-dana sumbangan alumni, agar diinvestasikan kembali untuk operasional kampus.
Dan bagi kita para alumni (kampus manapun), khususnya yang pernah teriak-teriak berdemo minta diturunkan uang SPP: Jangan lupa untuk kembali ke kampus dan memakmurkan kampus. Jika berlebih materi, maka sumbanglah dalam bentuk materi yang banyak. Jika belum tercukupi materi, maka makmurkanlah dalam bentuk lain, misalnya kisah sukses dan mentoring. Yang penting, jangan cuma menuntut, itu tangan di bawah. Bukankah kita diajarkan untuk menjadi tangan di atas?
***
Sumber : Kikha Insititute
Rabu, 4 Mei 2016
Rumahku Indonesia
ketika aku melihat sesuatu
yang tak pernah ku lihat sebelumnya
mataku terbuka
betapa indahnya negeri ini
dan ketika ku merasakan
hal yang tak pernah ku rasakan sebelumnya
hatiku terpukau
betapa besarnya bangsa ini
hanya di sini
di rumahku
yang membentang luas ke empat penjuru
ku persembahkan seluruh jiwa dan raga ku
dan kupastikan
tak 'kan ada yang mampu merebutnya dariku
hanya di sini
di Indonesia
Teks: Gudang Garam Rumahku Indonesiaku (TV ads 2006)
Musik: Tanah Airku - Addie MS & Prague Symphony Orchestra
Foto: Oppie Muharti as known as (N)op/vie | Pas Un Photographe
Musik: Tanah Airku - Addie MS & Prague Symphony Orchestra
Foto: Oppie Muharti as known as (N)op/vie | Pas Un Photographe
Untuk Anak Pemilik Masa Depan, Pendidikan Tidak Bisa Ditunda
Jakarta - November 1994, Sanggar Anak Akar diselenggarakan dengan tujuan menyediakan rumah yang nyaman dan aman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia seutuhnya (fully human fully alive). Meskipun, selama sepuluh tahun pertama Sanggar Anak Akar harus beberapa kali pindah dari satu rumah kontrakan ke kontrakan yang lain, namun proses komuniter, belajar dalam kebersamaan tetap intensif. Kesungguhan anak-anak dalam memanfaatkan ruang dan kesempatan belajar di Sanggar Anak Akar menggerakan hati banyak pihak.
Pada 2003 sejumlah sahabat akar, secara individu yang concernpada pendidikan model Sanggar Anak Akar, berinisiatif menggalang dana untuk mengadakan lahan dan bangunan. Dari usaha mulia tersebut, pada 2004 Sanggar Anak Akar atas nama Yayasan Anak Akar Indonesia memiliki tanah seluas 900 m2dengan bangunan permanen baik untuk tinggal maupun untuk kelas.
Namun sejak 2011, telah mendapat kabar ada kemungkinan bangunan Sanggar Anak Akar akan digusur. Dalam empat tahun terakhir, Sanggar Anak Akar telah menempuh beberapa upaya penggalangan dana untuk mempersiapkan penggusuran. “Kami menerima kabar bahwa jalan tol akan diselesaikan pada tahun 2017, untuk itu kami harus mengimbangi rencana penggusuran tersebut dengan aksi yang cepat pula,” ujar Ketua Yayasan Anak Akar Indonesia Susilo Adinegoro.
Oleh karena itu, lanjut Susilo, pencapaian Sanggar Anak Akar saat ini dihadapkan pada tantangan baru yaitu rencana pemerintah membangun jalan tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) yang akan menggusur lahan dan bangunan Sanggar Anak Akar di Cipinang Melayu. Rencana pemerintah itu sudah bergulir dari akhir tahun 90-an. Rencana saat itu hanya akan mengambil sebagian kecil dari lahan Sanggar Anak Akar. Dalam pertemuan terakhir di kelurahan Cipinang Melayu bulan April lalu, Camat Makasar menegaskan proyek pembangunan jalan Becakayu segera direalisasi pada tahun ini. Sejauh ini, informasi yang disampaikan menjelaskan bahwa proyek pembangunan jalan Becakayu akan mengambil sebagian besar lahan dan bangunan Sanggar Anak Akar.
“Berhadapan dengan itu, kami bermaksud menjaga supaya realisasi pembangunan proyek jalan Becakayu, sejauh mungkin tidak menghambat, apalagi menghentikan, proses pendidikan anak-anak di Sanggar Anak Akar. Untuk itu dari sekarang kami bermaksud melakukan langkah strategis,” terang Susilo.
Langkah yang dimaksud Susilo, yaitu dengan menggerakkan dukungan melalui konser kolaborasi resistante: Konser Musik Untuk Pendidikan “Syukur Atas Cinta dan Kehidupan”, yang akan diselengarakan pada hari Sabtu, 27 Juni 2015 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Melibatkan beberapa seniman, serta artis yang memiliki concern terhadap keberlangsungan pendidikan untuk anak di Sanggar Anak Akar, yaitu Akar Grandsamble (Alumni Sanggar Anak Akar) memainkan lagu karya Sanggar Anak Akar berkolaborasi dengan Ratu Queenous dan Marya Genova, Navicula, Bonita & the husBand serta Tony Q. Konser ini juga merupakan bagian dari rangkaian peringatan 45 Tahun Institut Kesenian Jakarta (IKJ), bekerjasama dengan Lembaga Pengabdian IKJ.
“Harapan kami sebelum lahan dan bangunan lama benar-benar tergusur, kami sudah mendapatkan lahan dan memiliki bangunan sebagai fasilitas untuk keberlangsungan proses pendidikan anak-anak,” ujar Susilo.
Rektor Sanggar Anak Akar Ibe Karyanto menyampaikan, rasa syukurnya atas semakin mendapat perhatian dari masyarakat dan seniman, bahwa ternyata masih banyak yang peduli pada upaya pendidikan sebagai gerak kebudayaan. “Kepedulian banyak orang ini menambah semangat kami untuk bisa berkontribusi lebih besar terhadap perubahan masyarakat melalui pendidikan yang menghormati hak-hak anak,” ucapnya.
***
Tentang Sanggar Anak Akar
Sanggar Anak Akar merupakan alternatif model pendidikan untuk anak-anak, utamanya anak pinggiran, yang diselenggarakan secara nirlaba oleh anggota masyarakat yang peduli pada pengembangan kualitas pendidikan. Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak pinggiran adalah anak-anak yang menjadi bagian dari keluarga urban miskin di Jakarta, anak yang hidupnya berada di bawah bayang-bayang ancaman kekerasan orang dewasa, termasuk anak yang terpaksa tinggal di jalanan atau tempat umum.
Tahun ke tahun, produk gagasan dan kreativitas Sanggar Anak Akar semakin mendapatkan tempat di bidang pendidikan komunitas maupun di bidang seni-budaya. Tidak sedikit jumlah alumni Sekolah Otonom Sanggar Anak Akar yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang mampu bersaing dengan alumni dari institusi pendidikan lain. Keberadaan Sanggar Anak Akar cukup diakui, tidak saja sebagai sebuah model pendidikan anak, tetapi juga sebagai sebuah pendekatan estetik yang menguatkan gerakan budaya menuju perubahan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Contact person
Muhammad Anwar 081 8050 22 996
Rekening untuk berdonasi
BRI Unit Makasar Kramat Jati
7082-01-004992-53-1
a/n Yayasan Anak Akar Indonesia
Facebook: Sanggar Anak Akar ID
Twitter : @SanggarAnakAkar
#KonserGalangLahan #konseramal #sanggaranakakar
Subscribe to:
Posts (Atom)