Pengembangan Lapangan Migas Butuh Perencanaan Detail

MigasReview, Jakarta – Menemukan cadangan minyak dan gas bumi, bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Tahap eksplorasi wajib dilakukan guna memastikan keberadaan cadangan terbukti. Namun, ternyata tidak semua investor mau melakukan tahap pengembangan meskipun sudah melakukan eksplorasi dan menemukan cadangan migas.

Kepala Divisi Pengendalian Program dan Anggaran, Bidang Pengendalian Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Benny Lubiantara mengilustrasikan, tahap-tahap yang harus dilakukan pada suatu lapangan yang diperkirakan mengandung cadangan migas kepada MigasReview.comdi kantornya beberapa waktu lalu.

Apa yang perlu dilakukan sebagai pelaku industri migas saat mendapatkan blok atau lapangan yang diperkirakan mengandung cadangan?

Pertama adalah tahap eksplorasi yang dimulai dengan data seismik yang didapatkan hingga ada prospek. Tapi, selama belum dibor, belum dapat dianggap ada cadangan. Dengan demikian, harus dibor dulu untuk menapat kepastian. Kita sering mendengar istilah dry hole, yaitu kalau ternyata begitu dibor ternyata kering, tidak ada migasnya. Perusahaan migas tidak kapok dan akan terus mencoba hingga ketemu. Untuk melakukan pengeboran selanjutnya, kita melakukan pemetaan ulang. Kalau pengeboran selanjutnya kosong kembali, data pemetaan harus terus di-update hingga pada saatnya membutuhkan data tambahan.

Diharapkan, dengan data bor yang tadi dry hole akan dipetakan lagi untuk menentukan titik pengeboran selanjutnya. Itupun masih belum tentu juga ditemukan cadangannya. Tentunya, bagi perusahaan migas, setelah beberapa kali mengebor namun tidak juga menemukan cadangan, mereka akan melihat tingkat kemampuan finasial sendiri. Meskipun nantinya ketemu, mereka juga akan menghitung batas nilai keekonomiannya. Istilahnya, worth it atau tidak kalau dilakukan pengeboran sumur baru lagi untuk mencapai produksi yang ditargetkan dengan cadangan yang ada.

Biasanya butuh berapa kali pengeboran sampai ditemukan ada cadangan?

Ya tergantung. Memang tidak cukup hanya melakukan 1 kali pengeboran karena kalau hanya 1 sumur masih ada keraguan. Meskipun saat pengeboran ternyata ditemukan atau keluar minyak atau gasnya, dibutuhkan beberapa sumur lagi untuk menghitung cadangan yang ada di dalam perut bumi. Setelah perhitungan cadangan ditemukan, baru masuk ke tahap komersial, apakah akan dikembangkan atau tidak. Ini tergantung keekonomiannya. Pertimbangan keekonomian itu pasti memerlukan biaya.

Dalam pengeboran sumur tambahan, penentuan titik didapatkan dari hasil pemetaan yang tadi. Pertimbangan lain, misalnya, minyak agar keluar hingga ke mulut sumur diperlukan tekanan. Nah, ini bagaimana caranya agar pengeboran sumur tambahan tidak menurunkan tekanan tadi. Setelah ketemu cadangan, juga diperlukan platformuntuk lapangan offshore. Ada lagi proses pemisahan minyak mengingat dalam reservoirtersebut belum murni minyak, karena ada air dan campuran hidrokarbon lainnya.

Berapa batasan waktu yang diperlukan untuk eksplorasi?

Masa eksplorasi dalam kontrak biasanya berkisar 6-10 tahun, yang nantinya juga bisa diperpanjang. Perusahaan migas harus punya komitmen, mulai melakukan seismik, studi-studi geologi, dan asumsi-asumsi yang diperlukan untuk pengumpulan data. Di tahun-tahun pertama umumnya belum dilakukan pengeboran. Baru setelah ada data tadi, dilakukan pengeboran untuk memastikan cadangannya. Nah, komitmen tadi harus dijadwalkan. Komitmen untuk survei berapa lama, lalu komitmen melakukan pengeboran.

Makanya, belum lama ini Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini mengungkapkan ada 18 WK (Wilayah Kerja) dikembalikan atau diterminasi karena tidak memenuhi komitmen. Kalau tidak ada komitmen, WK itu takutnya dijual lagi. Sehingga, kalau perusahaan migas melakukan sesuai dengan komitmen tadi, setelah tahun ke-6 seharusnya sudah bisa menentukan ada tidak tuh barang. Atau, paling lama tambah lagi sekitar 2 tahun dan waktu maksimal hingga 10 tahun.

Tapi ini harus diperpanjang atau dilaporkan setiap tahunnya sebelum batas maksimal. Kalau sampai batas waktu itu juga tidak ada pengembangan, ya dikembalikan. Makanya, kalau mau rata-rata lamanya masa eksplorasi, selama perusahaan migas melakukan komitmen, ya butuh 6 tahun. Namun, kadang-kadang memerlukan waktu 10 tahun pun bukan berarti tidak ada komitmen. Kadang-kadang sudah ditemukan cadangan itu, tapi belum ada keyakinan untuk dikembangkan.

Kenapa bisa begitu?

Tahap selanjutnya setelah eksplorasi adalah tahap pengembangan atau (plan of development/POD). Meski sudah masuk pada batas waktu eksplorasi yang 10 tahun tadi, tapi masih ada pertimbangan untuk maju ke tahap pengembangan. Harus ada nilai keekonomiannya. Agar bisa terhitung nilai keekonomiannya, diperlukan pengeboran lagi karena belum cukup konklusif data-data pendukung lainnya agar bisa dikembangkan. Sehingga, kasus-kasus permintaan perpanjangan masa eksplorasi sebenarnya adalah untuk mencari informasi lagi agar lebih yakin dengan nilai keekonomiannya kalau mau dilakukan pengembangan. Tapi, memang sering terjadi, lapangan-lapangan yang cadangannya diasumsikan misalnya 100, begitu dilakukan pengeboran lagi dan disiapkan program, ternyata hanya ditemukan 50. Akibatnya, secara konsep pengembangan, ini sebenarnya sudah rugi dua kali karena persiapan dana terhitung dengan kondisi cadangan yang 100 tadi, tapi hanya ditemukan setengahnya.

Pertimbangan apa saja yang bisa memastikan untuk melanjutkan ke tahap pengembangan?

Pengembangan lapangan di semua negara pasti ada dan harus disetujui oleh regulator dan ada yang badannya di rangkap, misalnya Petronas. Bagi investor, yang dilihat adalah internal rate of return (IRR). Bagi badan pengawasnya, yang dilihat adalah berapa bagian pemerintah supaya tidak kecil. Kalau kecil, ya tidak perlu dikembangkan. Perlu dipahami bahwa benar yang kerja di perusahaan migas asing ada orang Indonesia juga. Tapi orang Indonesia itu, meski dalam posisi sebagai bos-bosnya, mereka tidak terlibat dalam mengambil keputusan. Jadi pekerjaan mereka menghitung pipa, menghitung cadangan, dan teknis lainnya.

Tapi ketika mengambil risiko, investment decision adalah bagian manajemen, yaitu orang bule-itu. Inilah yang kita tidak punya ilmunya. Dalam arti, kita perlu jam terbang. Kalau engineer, ahli geologi kita mampu menghitungnya. Tapi bagaimana me-manage risk, itu yang kita tidak pernah diajari dan tidak pernah diberi kesempatan. Padahal di situ ilmu migas sebenarnya, bagaimana me-manage risk, memproyeksikan proyek arahnya mau dibawa kemana atau dikembangkan. Karena belum tentu konsep pengembangan lapangan migas memiliki perencanaan dan perhitungan yang sama.

Setiap orang pasti berbeda-beda. Bagi yang sudah memiliki jam terbang, masalah biaya pasti jatuhnya murah. Bukan hanya sekadar menggaji karyawannya. Tapi kalau perencanaan tidak matang, misalnya terjadi delay yang pada akhirnya memakan waktu dan biaya, hitungannya bisa mahal. Hal yang seperti ini yang membutuhkan transisi agar orang Indonesia bisa diajari. Sehingga, meski mereka berada di posisi high level, tapi hanya administratif untuk meng'goal'kan apa yang diinginkan investor dari International Oil Company (IOC). Di sini yang harus pintar.

Kita bisa dipermainkankan kalau tidak pintar-pintar?

Di sini (Indonesia) kalau kita salah, itu karena ketidaktahuan atau kalah ilmunya, sehingga tidak tahu mana yang optimum. Bisa saja terjadi perusahaan migas membuat konsep pengembangan yang lebih mahal, padahal ada opsi lain dengan hasil yang sama dengan biaya yang murah. SKK Migas harus terdiri atas orang-orang yang pandai sehingga kalau investor datang, kita tidak bisa disetir. Kita bisa berdebat. Nah, kalau dulu sering kalah akibat bahasa dan jam terbang yang masih rendah. Ini yang harus diperbaiki.


(anovianti muharti)

Sumber Energi Tidak Saja dari Fosil

MigasReview, Jakarta – Masih banyak pandangan bahwa sumber energi hanya berasal dari fosil, seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara, karena penemuan awalnya sangat mudah didapatkan. Namun, seiring dengan waktu, peningkatan kebutuhan penggunaan energi kian tak terbendung hingga ketersediaannya tidak mencukupi. Bahkan, (alm.) Widjajono Partowidagdo, sewaktu menjabat Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak kaya minyak.

Pandangan yang sama diungkapkan Presiden Direktur PT Ametis Energi Nusantara Ismail Zulkarnain. Dikatakannya, negara ini terletak di iklim tropis dan memiliki lahan yang luas, sehingga memiliki sumber energi lain selain berasal dari fosil, seperti energi panas bumi, energi sinar matahari dan bioenergi. Energi-energi tersebut bisa menjadi solusi untuk menciptakan suatu ketahanan atau keamanan energi di Indonesia.

Berikut penuturannya kepada MigasReview.comsaat ditemui di kantornya bilangan Kawasan Mega Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Mengapa PT Ametis Energi Nusantara memfokuskan pengembangan energi baru dan terbarukan?

Visinya adalah bagaimana kita bisa menciptakan dan membantu pemerintah dan masyarakat dalam hal energi industri, sehingga kita bertujuan ingin membangun paradigma baru bahwa sumber energi tidak hanya berasal dari fosil. Karena pada umumnya, orang berpikir kalau yang namanya energi adalah minyak, gas dan batubara, padahal tidak seperti itu. Kenapa kita ingin menciptakan paradigma tersebut, sebab untuk energy security (keamanan/ketahanan energi) membutuhkan distribusi sumber energi. Contohnya, di Indonesia, bila kita berbicara cadangan minyak, hanya memiliki di bawah 1 persen dari cadangan minyak dunia, cadangan gas di bawah 2,5 persen dari cadangan gas dunia.

Sementara, Arab Saudi dan Venezuela memiliki lebih dari 10-20 persen dari cadangan migas dunia. Dibandingkan dengan kebutuhan dalam negeri mereka sangat secured. Artinya, bila mereka membicarakan mengenai minyak dan gas adalah hal yang wajar, tapi tidak mesti Indonesia membicarakan hal yang sama seperti mereka. Karena ternyata, berdasarkan data yang kita punya dan di-publish secara global, Indonesia memiliki 40 persen cadangan energi panas bumi di dunia dan energi lain, seperti bioenergi, seperti energi matahari, karena Indonesia berada di iklim tropis. Sehingga, kenapa tidak melakukan bauran sumber energi selain energi fosil. Makanya, diperlukan investasi pengembangan dan komitmen agar dapat menyumbangkan ketahanan/keamanan energi Indonesia.


Pengembangan energi non fosil ini tentunya banyak tantangan. Dukungan seperti apa yang diperlukan?

Secara fundamental dibutuhkan tata kelola, yang dasarnya dengan adanya satu regulasi dan kebijakan, kemudian rencana trategis. Sebenarnya, pemerintah sudah memiliki suatu tatanan bauran energi melalui ESDM dan dibantu oleh Dewan Energi Nasional. Memang harus dibantu dengan peraturan-peraturan yang lebih mengarah level teknis. Seperti, bagaimana jika bioenergi diciptakan, siapa yang akan membelinya, market-nya seperti apa. Salah satu contoh, energi panas bumi, untuk pengembangan berada di daerah konservasi hutan, apakah daerah tersebut 100 persen haram untuk pengembangan geothermal? Ini diperlukan suatu kerjasama berbagai pihak. Di samping juga dibutuhkan suatu organization capability, bagaimana kita bisa mengolah sumber energi ini yang sustainable serta dibutuhkan teknologi, yang mana akan tercipta jika ada komitmen dan kerja terus menerus berdasarkan pengalaman dan penelitian, karena tidak mungkin teknologi serta-merta langsung jadi atau instant.

Berapa rata-rata investasi yang dibutuhkan untuk energi non fosil tersebut?

Data yang saya miliki, untuk pengembangan energi sinar matahari, rata-rata kapasitas 1 MW perlu US$1-2 juta. Kemudian untuk energi panas bumi kapasitas 1 MW kurang lebih US$2,5-4 juta. Sumber energi lain, seperti bioenergi, kisarannya US$1-5 juta per MW tergantung risiko yang ada. Misalnya, investasi semakin tinggi, pasti sustainableharga juga fluktuatif.

Masing-masing energi ada kelebihan dan kekurangannya. Bagaimana bisa dapat saling menutupinya agar berjalan bersamaan?

Tentunya tata kelola yang komprehentif, dan blueprint di mana fungsi forecast atau outlook kita terhadap supplydan demand. Kalau kita memang bersama-sama pada satu sinergi kerja, saya rasa akan bisa mengatasinya dengan mengatur interaksi bersama alam yang kita miliki.

Benarkah return of investment dari energi baru dan terbarukan membutuhkan waktu yang sangat lama?

Perhitungan ekonomis sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi, mungkin pada waktu sebelum-sebelumnya seperti itu. Tapi pada saat ini, semua mulai ada perubahan, karena harga minyak yang cenderung semakin naik, kemudian kebutuhan energi yang tidak bisa dipertahankan mengakibatkan pemerintah menanggung beban subsidi yang semakin berat. Nah, dengan kondisi tersebut, pemerintah mulai melakukan suatu perubahan, seperti harga beli listrik mulai dinaikkan yang berasal dari geothermal, lalu situasi perekonomian yang berubah dari skema ekonomi proyek-proyek tersebut. Saya rasa, kondisi sekarang sudah tidak separah yang lalu. Artinya, yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana berbagai pihak, termasuk swasta dan pemerintah,


menciptakan suatu situasi dan kondisi. Jadi kita harus punya pandangan yang pro aktif, jika suatu keputusan akan benar bila situasi dan kondisinya tercipta. Tetapi, kalau kondisi itu tidak ada, maka lantas kita menunggu, mestinya kita harus berusaha untuk menciptakan situasi dan kondisi tersebut.

Sering terjadi pro dan kontra dalam menciptakan situasi dan kondisi itu, bagaimana menghadapinya?

Paling mendasar adalah komunikasi dan edukasi yang harus digalakkan antara pemerintah, swasta, masyarakat dan berbagai pelaku industri ini. Artinya, diperlukan kesamaan visi dan sinergi. Pada suatu sisi pemerintah ingin mendorong suatu investasi, tapi swasta tujuannya adalah keuntungan, sehingga dibutuhkan suatu keuntungan yangfair dan pemerintah juga perlu meletakkan suatu regulasi dengan suasana yang fairjuga. Artinya, memikirkan suatu risiko investasi yang akan dihadapi, maka diperlukan partnership dari berbagai pemangku kepentingan dalam industri energi dengan suasana fairness.

Menurut pandangan Anda, adakah kemampuan sumber daya manusia kita untuk menciptakan konten lokal dalam industri energi?

Saya untuk menjawab mampu atau tidak, lebih menekankan terhadap kemauan. Apakah kita punya kemauan untuk menjadi mampu atau tidak? Tentunya, apabila kita mempunyai suatu kemauan untuk memiliki suatu kemampuan, saya yakin dibutuhkan suatu proses dan pada saatnya kita akan memiliki kemampuan tersebut. Fokus yang diperlukan adalah bagaimana kita bekerja, karena dengan kita terus menerus bekerja akan mencapai pada situasi dan kondisi yang mendukung, daripada mengharapkan hujan turun dari langit, kemudian komplain atau mengeluh atas kebijakan dan regulasi. Karena, meskipun pemerintah melakukan suatu perubahan namun industri tidak merespon, maka situasi dan kondisi yang diinginkan tidak akan tercipta. Artinya, butuh kerjasama yang sinergis, dimana pemerintah, swasta, tenaga ahli dan masyarakat berperan pada perannya masing-masing.


(anovianti muharti)

Lapangan Migas Indonesia Ibarat Parit Kecil Tersumbat Sampah

MigasReview, Jakarta - Lifting atau produksi minyak dan gas bumi (migas) selalu menjadi perbincangan yang tak hanya di kalangan pemerintah dan kompleks para wakil rakyat. Pengguna bahan bakar fosil pun tidak luput mempertanyakan mengapa produksi minyak cenderung turun, padahal Indonesia pernah berjaya dengan produksi 1,6 juta barel per hari (bph) pada 1977 dan 1995. Selain itu, negara ini juga memiliki lapangan migas sendiri dibandingkan dengan negara yang tidak memilikinya, seperti Jepang, China, dan India. Namun, negara-negara tersebut mampu mengelola energi demi kepentingan bangsa mereka.

Apalagi bila dibandingkan dengan beberapa negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Iran dan Irak yang memiliki cadangan minyak sangat banyak, yang dapat memproduksi minyak hingga 2,3 juta bph. Tetapi, lapangan migas Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara tersebut. Kepala Divisi Pengendalian Program dan Anggaran, Bidang Pengendalian Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Benny Lubiantara menggambarkan bahwa lapangan yang berada di Irak ibarat seperti kolam karena memiliki lapisan pertama minyak yang sangat tebal.

“Sementara di kita (Indonesia), lapangan minyaknya ibarat parit kecil, banyak sampahnya pula sehingga mampet, sulit mengalir. Di Arab, lapisannya tebal, ngebornya lancar. Mau produksi berapa juta barel, ya tinggal ngebor sumur yang banyak,” ujarnya kepada MigasReview.comdikantornya, beberapa waktu lalu.

Namun, Benny juga menegaskan, terlalu banyak sumur yang dibor juga akan merusak karakterisik reservoir. Sehingga, setiap lapangan migas memiliki titik optimum dalam menentukan banyaknya sumur.

“Sementara karakteristik reservoir di Indonesia tipis, mampet dan cadangannya juga sedikit. Kalau dibandingkan dengan blok West Qurna-1 yang bisa memproduksi 2,3 juta bph, Indonesia cuma 800 ribu bph dari ujung Sabang hingga Marauke karena dalam reservoir-nya banyak batuan, banyak minyak yang menempel di bebatuan. Itu sebabnya menggunakan EOR (Enhanced Oil Recovery) untuk mengalirkannya,” terang alumni Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung ITB) ini.

Sumur Tua


Memang banyak sumur tua yang berada di Indonesia, yang biasanya masih menyimpan sisa cadangan sekitar ratusan bph. Tetapi kondisi lapangan itu tidak memungkinkan digunakannya teknologi konvensional (primary recovery). Maka, di era 1970-80an, sumur-sumur yang tinggal memiliki cadangan tersisa 500 bph cenderung ditutup dengan alasan tidak ekonomis.


Oleh karena itu, penggunaan teknologi non-konvensional dapat mengubah lapangan yang dikategorikan primary recovery menjadi secondary recovery atau tertiary recovery. Penentuan kategori secondary dan tertiary tergantung pada karakteristik lapisan tanah lapangan migas.

“Yang termasuk secondary adalah menginjeksikan air (water flood) ke dalam sumur untuk menjaga tekanan di dalamnya tetap besar supaya tidak turun atau decline. Sewaktu lapangan itu masih primary, lama-kelamaan tekanannya turun. Karena itu dilakukan injeksi sehingga minyak bisa keluar karena adanya tekanan,” jelas mantan analis Kebijakan Fiskal Migas di OPEC tersebut.

Setelah primary, bukan berarti harus melalui tahap secondary. Benny menjelaskan, bila menggunakan cairan kimia maka akan dikategorikan tertiary recovery, seperti EOR. Namun, penggunaan EOR lebih baik dilakukan pada lapangan migas yang memiliki cadangan besar karena nilai keekonomiannya harus dihitung.

“Teknologi EOR menggunakan surfaktan (zat kimia) atau gas, tergantung mana yang cocok. Yang jelas, ini hanya dilakukan di cadangan dan lapangan besar karena dana yang dibutuhkan bisa hampir 3 kali lipat dari teknologi konvensional,” ujarnya.

No Cure No Fee


SKK Migas sedang membuat Pedoman Tata Kerja (PTK) yang mengatur menyangkut penggunaan teknologi tingkat lanjut di lapangan-lapangan yang tidak dikembangkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) melalui mekanisme no cure no fee, di mana pihak ketiga (provider) diberi izin untuk melakukan optimasi di lapangan yang tidak dikembangkan.

Contoh yang ada dalam no cure no fee adalah apabila setelah menggunakan EOR ternyata tidak menghasilkan produksi, maka providermendapatkan pengembalian investasi sebesar 75 persen dengan indikator-indikator tertentu.

“Bisa sliding skill. Harus dibuat fair dengan kondisi-kondisinya provider pada indikator tertentu, dan perlu insentif lain di luar kontrak PSC agar bisa ekonomis. Karena kalau no cure no pay, siapa yang mau mengerjakannya? Surfaktan kan mahal,” pungkas Benny.

SKK Migas memang sedang berupaya memaksimalkan produksi di setiap lapangan minyak dengan penggunaan EOR. Deputi Dukungan Bisnis SKK Migas Gerhard Marteen Rummeser mengatakan, upaya itu ditempuh demi menyukseskan zero decline dengan meningkatkan lifting minyak, sebab produksi minyak nasional bisa turun drastis hingga 40 persen.

Namun, PTK no cure no fee masih dalam pembahasan karena perlu menyosialisasikannya kepada provider dan pemangku kepentingan lainnya. Itu sebabnya, diperlukan penanganan pelaksanaan metode EOR oleh tenaga-tenaga ahli baik untuk studi kelayakan maupun implementasinya.

Indonesia setidaknya memiliki 160 jenis minyak, atau paling banyak di dunia. Tiap jenis membutuhkan ahli untuk analisis secara kompleks. Kegiatan EOR dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan produksi minyak dengan cadangan yang sangat terbatas.

(anovianti muharti)

Tantangan Distribusi Gas di Negara Kepulauan

Pembangunan infrastruktur pendistribusian gas di Indonesia sedang dilakukan oleh pemerintah, agar pemanfaatan gas alam dapat digunakan secara merata. Perbaikan tata kelola gas diperlukan, terutama regulasi, untuk kenyamanan iklim investasi sehingga mendorong pengembangan infrastruktur gas.

Pendistribusian menggunakan pipa memang masih lebih murah. Namun, secara geografis, Indonesia merupakan kepulauan, maka diperlukan inovasi bagaimana mendistribusikan gas alam agar dapat dimanfaatkan pengguna gas (konsumen).

VP Commercial Java Pertagas Niaga Kusdi Widodo, yang menjadi salah satu pembicara di Gas Indonesia Summit & Exhibition 2017 (GIS 2017), akan menyampaikan tentang perkembangan LNG Small Scale for Domestic Market, peluang dan tantangannya dan apa yang telah dilakukan oleh Pertamina untuk mendukung program pemerintah dalam memperluas cakupan pengguna gas di Indonesia.

Berikut obrolannya dengan MigasReview.com

Harga gas terkadang sering dikaitkan dengan harga minyak. Bagaimana menentukan harga gas, apakah ada imbasnya dengan harga minyak mentah saat ini?

Harga gas dapat ditentukan dari harga keekonomian sumber gas (harga gas hulu) ditambah biaya transportasi gas dan biaya-biaya lain yang terkait. Disamping itu harga gas juga dikaitkan dengan harga minyak bumi terutama harga gas yang berbasis dari sumber LNG. Jadi harga gas berbasis LNG adalah meliputi harga LNG ditambah biaya storagedan regasifikasi ditambah biaya transportasi gas dan biaya-biaya lain yang terkait.

Darimana saja sumber gas yang didapatkan?

Saat ini gas yang dipakai di Indonesia diperoleh dari sumber-sumber gas di dalam negeri. Gas dialirkan melalui pipa terutama di pulau Jawa dan Sumatera dan juga ditransportasikan melalui kapal LNG, apabila sumbernya diperoleh dari tempat lain (Kalimantan – Bontang / Papua - Tangguh) untuk dipakai di Jawa dan Sumatera. Sesuai dengan gas balance, Indonesia akan kekurangan gas dimulai tahun 2020, sehingga apabila tidak terdapat sumber baru maka Indonesia perlu mengimpor LNG.

Menurut Anda, apakah lebih ekonomis mengimpor dibanding memroduksinya?

Hal ini tergantung, terutama dari lokasi. Memang gas kita (nasional) yang diproduksi semakin sulit tempatnya, maka akan berdampak ke harga (semakin mahal). Apabila kita membandingkannya, maka sifatnya sangat temporal, karena dikemudian hari siapa tahu ditemukan sumber (gas) baru.

Kondisi saat ini, harga LNG (spot market) yang sangat kompetitif, maka tantangannya adalah transportasi untuk mendistribusikannya, kemudian receiving terminal, terutama apabila kita impor (LNG) harus disiapkan. Yang mana, line base receiving terminal membutuhkan waktu sekitar 4 tahun, Floating Storage Regasification Unit (FSRU) membutuhkan waktu sekitar 3 tahun. Sehingga yang kita bicarakan sekarang di 3-4 tahun kemudian akan berbeda lagi, kecuali bila menggunakan kontrak jangka panjang dengan sumber gas.

Indonesia merupakan negara kepulauan, pendistribusian gas seperti apa yang cocok?

Distribusi melalui pipa merupakan distribusi yang paling murah, namun untuk daerah kepulauan yang luas distribusi melalui LNG dengan memakai kapal LNG akan lebih mudah dan murah (reliable).

Apakah FSRU diperlukan lebih banyak?

Tergantung besarannya, FSRU cukup mahal. Namun, apabila receiving-nya kecil-kecil cenderung lebih baik menggunakan FSU (floating storage unit) lalu regasifikasinya diproses di darat, memang yang membutuhkan waktu adalah membangun FSU. Selain itu, harus dipertimbangkan juga dari sisi kebutuhannya, seberapa besar kebutuhan gas di suatu daerah, apakah dengan menggunakan FSRU tidak kebesaran?

Oleh karena itu, selain perlu dipertimbangkan faktor-faktor untuk menyediakan infrastruktur tersebut, perlu dimulai membuat semacam cluster dengan membuat FSU yang besar kapasitasnya kemudian didistribusikan mengunakan kapal-kapal kecil. Namun, sejauh ini belum ada yang melakukannya karena belum ekonomis. Selain itu, komitmen pembeli (buyer) belum ada.

Berapa kebutuhan gas rata-rata tahunan?

Gas balance di 2015 sekitar 5.600 MMSCFD. Di 2018, akan meningkat sekitar 7.700 MMSCFD. Setiap tahun diperkirakan naik 6%. Sementara dari sumber gas sejak 2015, sebenarnya sudah terlihat defisit, hanya saja dikarenakan marketnya scattered (terpencar-pencar) maka tidak terlihat defisitnya. Sebab di suatu tempat antara sumber gas dengan kebutuhannya kurang, namun terdapat di suatu tempat antara sumber gas dengan kebutuhannya berlebih. Apabila infrastruktur sudah terbangunpun, pada 2025 defisit gas terjadi sekitar 4,4 TCF per day.

Hal ini perlu dicermati, saat ini yang dapat dilakukan penghematan dan diversifikasi energi. Karena mencari cadangan atau sumber gas juga membutuhkan waktu dan monetisasi yang perlu diperhitungkan.

Apa yang membedakan dari LNG, CNG dan LPG, bagaimana masing-masing penanganannya?

LNG adalah gas alam yang dicairkan dengan cara didinginkan pada suhu kurang lebih minus 160oC, LNG terdiri dari gas methane, sedangkan CNG adalah gas alam yang decompress(ditekan) sampai dengan tekanan kurang lebih 200 bar, sedangkan LPG adalah merupakan fraksi berat gas alam yang terdiri dari propane dan butane. Ketiga gas ini dibuat untuk memudahkan transportasi gas ke konsumen terutama untuk transportasi jauh ribuan kilometer (LNG/LPG), apabila belum tersedia transportasi pipa ke daerah tersebut.

Seperti apakah rantai pendistribusian gas?

Sebenarnya rantainya sangat logic, mulai dari sumber gas kemudian masuk ke pipa transmisi, selama kita membicarakan gas pipa, kemudian dialirkan ke pipa distribusi, dimana masing-masing diperlukan meteran, dan apabila jaraknya jauh dibutuhkan kompresor, tentunya ini menjadi biaya-biaya yang akan diperhitungkan hingga sampai ke konsumen. Saat ini memang ada 2 cara penjualan. Pertama, direct (langsung) dari sumber ke konsumen. Kedua, melalui beberapa badan usaha (trader).

Apa harapan Anda terhadap industri gas nasional?

Kita berharap diberikan kemudahan untuk mendapatkan sumber-sumber (gas) yang baru dan terkoneksinya sumber-sumber gas dengan konsumen pemakai gas, namun kita juga berharap agar dibangunnya infrastruktur gas terutama untuk LNG untuk mem-backup sumber-sumber gas yang ada saat ini. Kita juga berharap adanya dukungan pemerintah berupa regulasi yang mendukung dunia usaha diantaranya adalah regulasi tentang harga gas, sehingga harga mau di-open, diberi ceiling, sehingga yang berinvestasi dapat memperhitungkan break even point-nya.

Apa yang akan Anda sampaikan pada forum GIS 2017?

Saya akan memberikan gambaran mengenai market gas di Indonesia secara umum, kemudian peran LNG yang saat ini mayoritas penyuplaian gas (jalur dsitribusi) menggunakan pipa. Market yang besar terutama di Jawa, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, sementara untuk Jawa Tengah masih on progress pengembangan jalur pipa gas dari Jawa Timur (Gresik-Semarang), sehingga nantinya pipa gas di Jawa akan terintegrasi. Market yang kedua di Sumatera, yaitu Sumatera bagian utara dan selatan. Hal ini karena kondisi sekarang masih terpencar-pencar antara daerah sumber gas dengan daerah konsumennya.

Selain gas pipa, untuk bridgingmenggunakan CNG, terutama untuk konsumen yang belum tersambung dengan pipa dan belum ekonomis apabila perlu dibangun pipa gas.

Sementara perkembangan sumber gas, kondisi saat ini di Jawa Barat dan Jawa Timur mulai mengalami penurunan, begitupun sumber baru bila ditemukan namun belum ekonomis untuk dikembangkan. Oleh karena itu, di Jawa Barat menggunakan LNG untuk diregasifikasi melalui FSRU yang kemudian dialirkan ke pipa bawah laut (sepanjang 20km) ke Muara Karang, lalu dialirkan ke Muara Tawar (PT PJB). Alokasi gas, paling besar untuk PLN (pembangkit listrik), namun juga digunakan untuk (konsumen) industri, seperti baja, keramik, kaca, smelter hingga industri makanan (Jawa Barat). Di sumatera Utara kita sudah merevitalisasi Arun menjadi receiving terminal LNG, kemudian pipa Arun-Belawan.

Karena kita sudah memiliki dua tempat pengiriman LNG, maka kita membangun small facility, yaitu LNG Small Scale for Domestic Market, ukuran saat ini iso tank 12 feet. Tangki ini akan didistribusikan untuk konsumen yang berada di daerah, seperti Kalimantan Timur dan Sumatera bagian utara yang tidak terjangkau dengan gas pipa.


LNG Small Scaleini, dapat dibawa menggunakan truk ataupun kapal untuk antar pulau kecil dan sudah terdapat regasification unit, namun unit ini ditempatkan di konsumen. Regasification unit ini sudah ada di Medan (Sumatera Utara), Kalimantan Timur, lalu dalam waktu dekat kita akan menyuplai PLN (PLTG) Sambera. Sekarang yang sedang diuji coba daerah Ambon.