Dilema Perpanjangan Kontrak (Lapangan Minyak dan Gas Bumi)

Lisensi suatu blok atau wilayah kerja untuk eksplorasi dan produksi minyak secara umum berlaku antara 25-30 tahun, untuk gas periodenya bisa lebih lama lagi. Jauh sebelum kontrak berakhir (8-10 tahun tergantung lapangan minyak atau gas), kontraktor diizinkan mengajukan perpanjangan kontrak.

Kenapa jauh-jauh hari sudah diperbolehkan mengajukan perpanjangan? Hal ini tentu saja terkait dengan investasi. Kontraktor tidak mau mengambil risiko dengan melakukan investasi besar-besaran pada tahun ke 20-25, tetapi 5 tahun kemudian kontraknya diputus atau tidak dipepanjang.

Dari perspektif bisnis kondisi ini dapat dipahami, sama halnya dengan seorang yang mengontrak rumah, tentu sebelum hari-H kontrak berakhir, diperbolehkan mengajukan perpanjangan kontrak kepada yang punya rumah. Hal ini penting, supaya ada kepastian tidak akan diusir pada saat kontraknya berakhir. Bagi pemiliki rumah juga sebagai jaminan kelangsungan pendapatan, supaya penyewa tidak mendadak keluar. Si empu rumah bisa kehilangan kesempatan bagi penyewa berikutnya.

Dalam konteks lapangan minyak dan gas bumi, timbul pertanyaan: bagi pemerintah, apa semua kontrak yang habis, sebaiknya diperpanjang? jawabnya: tentu tidak, tergantung proposal yang dibawa kontraktor pada waktu mengajukan perpanjangan kontrak.

Cerita sederhananya seperti ini,

Kontraktor akan menghadap pihak yang berwenang (pemerintah) membawa usulan perpanjangan kontrak. Pada prinsipnya kontraktor akan menyatakan: seandainya kontrak tidak diperpanjang, maka kami tidak akan melakukan investasi lagi, baik untuk kegiatan eksplorasi maupun pengembangan. Agar kontrak dipertimbangkan untuk diperpanjang, maka kontraktor akan menunjukkan gambar berikut:

1. Ilustrasi Proposal Perpanjangan Kontrak

Ini adalah “senjata” kontraktor, yaitu rencana profil produksi seandainya kontrak diperpanjang. Kontraktor akan menyatakan: seandainya diberikan perpanjangan kontrak, profil produksi akan menjadi seperti ini, investasi untuk kegiatan eksplorasi dan pengmbangan akan dilanjutkan sehingga sebelum kontrak berakhirpun produksi sudah mulai meningkat. Dari sisi pemerintah tentu juga mempunyai pertimbangan tersendiri, seandainya kontraknya tidak diperpanjang, bagaimana profil produksinya?

2. Ilustrasi untuk Kasus Kontrak tidak Diperpanjang

Untuk tujuan ilustrasi, profil ini disedehanakan dengan asumsi kontrak ini tidak diperpanjang, pada saat perpanjangan operatornya diambil alih kontraktor lain atau oleh NOC. Tentu timbul pertanyaan, apakah profil produksinya tidak menjadi lebih jelek dibanding kontraktor lama mengingat mereka sudah mempunyai pengalaman di wilayah kerja tersebut?

Jawabannya bisa “ya”, bisa “tidak”. Karena kontraktor yang barupun sebenarnya bisa menghasilkan profil produksi lebih baik dengan metoda pendekatan dan teknologi yang dimilikinya, atau dengan menggunakan pengalamannya di wilayah kerja lain.

Contoh yang pernah terjadi

Ketika Pertamina membeli saham BP di Offshore North West Java (ONWJ) pada 2009, menjelang kontraknya berakhir (kontrak akan berakhir pada 2016). Setelah Pertamina menjadi operator menggantikan BP, kinerja lapangan tersebut menjadi lebih baik.

Sekarang kembali ke pertanyaan: bagi pemerintah, lebih baik diperpanjang atau tidak diperpanjang?

Andaikata diperpanjang maka prinsip perpanjangan paling tidak memenuhi kriteria bahwa ketentuan dan persayaratan harus diubah menjadi jauh lebih baik bagi negara. Misal, sebelumnya bagi hasil sebesar 80%:20%, maka pada saat perpanjangan diubah menjadi 90%:10% dan seterusnya. Apabila sebelumnya pada kontrak lama ada berbagai insentif yang akan mengurangi bagian pemerintah, maka pada saat perpanjangan, insentif tersebut tidak berlaku lagi.

Untuk urusan perpanjangan kontrak ini, pemerintah jelas dalam posisi tawar menawar yang lebih baik. Bagi kontraktor, apabila kontraknya tidak diperpanjang, mereka lebih banyak mengalami kerugian. Bisa saja mereka menggunakan dananya untuk investasi di wilayah kerja baik di dalam maupun luar negeri. Namun tentunya hal ini lebih berisiko mengingat secara prospek masih belum jelas. Di samping itu, apabila perpanjangan kontrak disetujui implikasinya luar biasa bagi kontraktor, sebelumnya perkiraan produksi hanya sampai akhir periode kontrak, dengan diberikan perpanjangan maka perkiraaan produksi otomatis bertambah sampai berakhirnya periode perpanjangan tersebut.

Apa kerugian seandainya tidak diperpanjang?

Aktivitas wilayah kerja tersebut cenderung akan menurun selama 8-10 tahun terakhir, hanya menunggu berakhirnya kontrak. Tidak ada kegiatan eksplorasi dan pengembangan, padahal dua aktivitas itu merupakan hal yang sangat penting.

Dalam kondisi tertentu, pemerintah bisa saja mempunyai pertimbangan lain yang lebih strategis, tidak melulu melihat dari aspek profil produksi tersebut (karena ini pada dasarnya hanya membandingkan pengaruh time of value of money, tentu tidak diperpanjang akan memberikan hasil yang kurang baik). Ada pertimbangan lain yang lebih bersifat jangka panjang. Pemerintah dapat mengatakan kepada kontraktor: “Wilayah Kerja ini selanjutnya akan dikelola oleh NOC agar diperoleh pendapatan yang lebih maksimal bagi negara”. Seperti halnya analogi kontrak rumah di atas, tentu tidak ada yang salah kalau si empu rumah mengatakan: “mohon maaf, rumah ini tidak dikontrakkan lagi, mau dipakai sendiri”.

Terkait dengan adanya “kerugian” akibat “lahan nganggur” 8-10 tahun menjelang kontrak berakhir akibat tidak ada lagi investasi kapital oleh IOC. Mengingat hal ini selalu menjadi isu menjelang perpanjangan kontrak, perlu dipertimbangkan untuk memuat semacam klausul “periode transisi” antara NOC dan IOC.

Intinya: NOC sudah mulai bisa masuk sebelum kontrak berakhir, sehingga investasi tetap dapat berjalan. Tentu saja perlu dibuat suatu formula dalam rangka pembagian biaya investasi yang dilakukan secara patungan antara NOC dan IOC, mengingat keduanya akan memperoleh manfaat dari investasi tersebut sebelum kontrak berakhir.

Hal yang penting di sini adalah bahwa dimanapun di belahan dunia ini, merupakan suatu kewajaran untuk memberikan hak istimewa (privilege) kepada NOC. Salah satu caranya adalah memberikan tanggunga jawab mengelola kontrak yang akan berakhir. Namun, tentu NOC dapat memilah sesuai dengan profil risiko, strategi dan portfolio mereka. Untuk proyek yang sangat tinggi risikonya, IOC masih diperlukan dalam bentuk kemitraan dengan NOC. Dalam hal ini keterlibatan NOC tetap ada, namun tidak 100% mengingat pertimbangan-pertimbangan di atas.


Benny Lubiantara, Ekonomi Migas Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, 2012 

Prospek Pemanfaatan Energi Panas Bumi di Indonesia

Semua negara di dunia yang miskin akan sumber minyak dan gas bumi semakin gelisah. Bahkan Amerika Serikat pun yang nyatanya mampu menghasilkan minyak bumi lebih dari delapan juta barel per hari, selalu khawatir. Amerika Serikat masih tergantung pada impor minyak sekitar jumlah itu. Bahkan jika negara besar di dunia ini tidak mampu mengendalikan pemanfaatan minyak buminya, diperkirakan, negara ini harus mengimpor minyak sekitar 11,5 juta barel per hari pada 1985. Suatu jumlah yang cukup mengerikan, karena akan menganggu pertumbuhan ekonomi serta moneternya, bahkkan mengancam pertumbuhan industrinya. Terutama akan selalu mengancam neraca pembayarannya.

Jika negara besar ini mampu berproduksi 5-6 kali dibandingkan dengan produksi minyak Indonesia (yang sekitar 1,6 juta barel per hari) sudah sejak lama gelisah dan berusaha dengan langkah-langkah kebijaksanaan energinya, tidak heran kalau Indonesia pun harus demikian.

Menghadapi masalah harga minyak internasional yang terus meningkat dan terlalu sering, masalah konsumsi minyak yang terus meningkat, prospek penambahan jumlah produksi serta kekhawatiran bahwa cadangan minyak akan habis, maka usaha mencari sumber-sumber energi di luar minyak dan gas bumi di berbagai negara dunia, terutama yang miskin akan minyak, terus ditingkatkan. Usaha ini diprioritaskan untuk menjaga kemungkinan, jika kelak pengadaan minyak dunia semakin langka dan harganya pun sudah melangit.

Tidak heran kalau kini batubara dimunculkan kembali, tenaga air dikembangkan. Energi surya di teliti terus. Gelombang laut, angin, arus panas dan dingin lautan, tumbuh-tumbuhan (untuk alkohol ataupun methanol, dan sebagainya), energi nuklir mulai dicoba serta dimanfaatkan. Bahkan energi panas bumi yang biasa dikenal dengan istilah energi geothermal mulai digalakkan. Indonesia pun tak ketinggalan dengan usaha pengembangan energi panas bumi.

Panas bumi terutama digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik. Misalnya di California utara, panas bumi digunakan untuk menghasilkan 180 megawatt listrik. Diperhitungkan, biayanya akan lebih murah dibandingkan dengan tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar dari fosil ataupun nuklir. Pembangkit listrik dengan tenaga panas bumi ini diusahakan oleh suatu kelompok perusahaan, yang dipimpin oleh suatu perusahaan minyak internasional yang terkenal di dunia, yaitu Union Oil Company (kini dikenal dengan Chevron, Red). Perusahaan inilah yang berusaha membor serta menghasilkan dan menjualnya kepada Pacific Gas and Electric.

Tenaga panas bumi di dunia untuk pembangkit listrik pada 1973 telah digunakan di tujuh negara termasuk Selandia Baru, Jepang dan Uni Soviet. Sedangkan pemanfaatan panas bumi sebagai sumber pembangkit tenaga listrik telah digunakan di daerah sekitar Larderello, Italia, pada 1904. Dengan makin langkanya serta mahalnya harga minyak, maka prospek pemanfaatan panas bumi di dunia, termasuk Indonesia akan semakin cerah dan dapat diandalkan dalam usaha diversifikasi energi.

Panas Bumi Bagi Indonesia

Salah satu sektor yang banyak menggunakan bahan bakar minyak, yang perlu diperhatikan, ialah untuk pembangkit tenaga listrik. Apalagi adanya peningkatan usaha pelistrikan desa dalam Pelita III ini. Gerak laju pembangunan nasional yang mencakup pembangunan daerah-daerah, akan merangsang pemanfaatan pembangkit listrik kecil-kecilan non-PLN, yang akan banyak menggunakan bahan bakar minyak.

Pada 1977 jumlah kebutuhan energi Indonesia yang berupa minyak bumi mencapai 21,67 juta ton ekuivalen batubara. Untuk pembangkit listrik PLN sebanyak 5,55%-nya. Dilihat dari sektor perlistrikan itu sendiri, diperkirakan hingga 1988 peranan pemanfaatan minyak bumi masih terbesar. Pada 1979 pemakaian energi berupa minyak masih 78%-nya, sisanya dari tenaga air. Pada 1981 pemakaian energi untuk pembangkit listrik diperkirakan menjadi 79% minyak bumi, 20% tenaga air. Pada 1992, pemanfaatan energi menjadi 25% berupa minyak, tenaga air menjadi 16%, batubara menjadi 54% dan panas bumi menjadi 5%. Pada 1992 jumlah energi yang dibutuhkan untuk pembangkit listrik mencapai jumlah 44.937 (GWH), sedangkan pada 1979 hanya sebesar 5.780 (GWH).*data usaha-usaha diversifikasi energi dalam sektor tenaga listrik

Jelas, usaha diversifikasi energi bagi Indonesia dapat diharapkan dari sektor perlistrikan, terutama pembangkit listrik yang diusahakan PLN.


Khusus pemanfaatan panas bumi di Indonesia, dalam buku Repelita III ditegaskan, antara lain, sumber daya energi panas bumi dalam bentuk konvensional (air panas dan uap) di Indonesia diperkirakan berjumlah 1.500 MW. Dari jumlah itu, 890 MW-nya diperkirakan terdapat di Jawa.

Pemanfaatan panas bumi untuk listrik, direncanakan pada 1981 akan selesai dibangung pusat listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang pertama, yaitu di Kamojang dengan kapasitas sebesar 30 MW. Selanjutnya pada 1984 di daerah pegunungan Dieng dengan kapasitas yang sama. Dengan demikian diharapkan, pada 1984 Indonesia sudah dapat menghasilkan tenaga listrik sebanyak 60 MW yang berasal dari sumber energi panas bumi.

Kebutuhan energi Indonesia pada 1981-1983 yang berasal dari panas bumi masing-masing sebesar 0,007 juta ton ekuivalen batubara. Pada 1984 meningkat menjadi 0,015 juta ton ekuivalen batubara berupa panas bumi.

Dengan pemanfaatan sumber energi panas bumi di Indonesia berarti, pertama, Indonesia telah membuktikan dapat menghasilkan serta memanfaatkannya sebagai sumber energi lain di luar minyak dan gas bumi. Kedua, pemanfaatan panas bumi merupakan bantuan untuk mengimbangi besarnya peningkatan kebutuhan energi dalam negeri. Ketiga, pemanfaatan panas bumi berarti mengurangi beban terhadap peningkatan besarnya kebutuhan bahan minyak di dalam negeri yang masih diharapkan terus menjadi suber devisa utama bagi pembangunan nasional. Keempat, munculnya panas bumi di Indonesia merupakan langkah mengurangi ketergantungan PLN/energi dari bahan bakar minyak. Walau peranan panas bumi sebagai sumber energi secara keseluruhan tak dapat dijadikan harapan yang sangat berarti. Mungkin sangat tergantung pada sumber-sumber panas bumi itu sendiri serta berapa besar potensinya dibandingkan dengan perkiraan kebutuhan energi Indonesia yang semakin meningkat.

Pada 1984, kebutuhan energi Indonesia secara keseluruhan diperkirakan akan mencapai 51,919 juta ton ekuivalen batubara. Dari panas bumi hanya sekitar 0,015 juta ton ekuivalen batubara. Namun demikian, pemanfaatan sumber daya energi panas bumi perlu dikembangkan terus, karena cepat atau lambat kebutuhan Indonesia akan minyak bumi akan lebih besar (seirama dengan perkembangan lajunya hasil pembangunan) dibandingkan dengan kemampuan produksinya sendiri. Contoh mutakhir adalah Amerika Serikat.

Dikhawatirkan, pada waktunya Indonesia bukan lagi menjadi anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) seperti sekarang, tapi menjadi “OPIC” (Organization of Petroleum Importing Countries). Kiranya tak berlebihan, jika sejak pagi-pagi tokoh-tokoh pembangunan yang terutama duduk di pemerintahan, mempropagandakan serta mengingatkan akan adanya gerakan penghematan energi (terutama bahan bakar minyak) serta usaha diversifikasi energi dan sebagainya.

Kenyataannya, bahwa baik dilihat dari perhitungan statistik, matematika ataupun ekonometri serta perhitungan lain, bahwa pada akhirnya minyak bumi yang terkandung di perut bumi ini akan habis juga. Apalagi jika diingat, dengan laju pertumbuhan penduduk, pendapatan, dan pendidikan, bahwa kesemuanya merupakan pendorong utama untuk peningkatan penggunaan energi, terutama berupa bahan bakar minyak.

Sumber Panas Bumi

Usaha pencarian sumber daya panas bumi di Indonesia telah sejak sebelum 1928. Didasarkan atas catatan Direktorat Vulkanologi antara 1926-1928 telah dilakukan pemboran sebanyak 5 buah sumur dengan kumulatif kedalaman 335,2 meter dengan hasul berupa uap berkekuatan 750 MW dengan pipa ukuran 3” bertekanan 2,5 atm, pada sumur no. 3. Setelah penyelidikannya dihentikan pada 1928, baru pada 1964 penyelidikan dimulai lagi. Yang terlibat penyelidikan ialah Lembaga Masalah Ketenagaan/PLN, Direktorat Geologi, ITB serta pihak asing, yaitu Unesco, Eurafrep, USGS/AID, Colombo Plan New Zealand.

Didasarkan atas catatan dari Dit. Vulkanologi, pembentukan sumber daya energi panas bumi di Indonesia rupaynya sangat erat hubungannya dengan proses geologi sejak jaman kuarter. Kegiatan gunung api sepanjang jalur gunung api di Indonesia rupanya telah mendangkalakn atau secara relatif menaikkan sumber panas melalui kegiatan magmanya, yang berupa terobosan-terobosan ke permukaan, yang kemudian membentuk gunung api atau yang menerobos bagian atas kerak bumi. Pendangkalan panas bumi itu memanaskan cadangan air tanah di bawah permukaan di sekitar sumber panas tersebut. Akibatnya, berubah menjadi uap yang bertekanan serta bersuhu tinggi. Tenaga yang kuat inilah yang dimanfaatkan.

Hasil penyelidikan lapangan-lapangan panas bumi yang dianggap prospektif hingga 1979, yaitu Sumatera (Seulawah Agam-Nanggroe Aceh Darussalam; Muaralabuh-Sumbar; Semurup-Lempur; Kerinci-Sumatera Tengah), di Sulawesi Utara (Lahendong-Linow-Minahasa; Tompaso-Tempang-Minahasa; Kotamobagu-Bolaang-Mongondow), di Flores (Ulumbu, Ruteng-Flores Barat), di Jawa (penyelidikan bersama Dit. Geologi, Pertamina dan Genzl yaitu di Jabar: Rawa Danau-Banten; Cisolok-Darajat), di Jateng (Dieng) dan Bali (Tabanan).

Atas dasar penyelidikan serta usaha pemanfaatan, sumber energi panas bumi untuk masa depan cukup cerah, walau tak dapat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi Indonesia secara keseluruhan. Tetapi dilihat dari segi usaha diversifikasi energi, usaha pencarian serta pengusahaan panas bumi untuk waktu mendatang merupakan pertanda satu langkah maju dalam pelaksanaan pembangunan nasional.

Bachrawi Sanusi
Energi ASEAN Suatu Tantangan, 1982
Kompas, 31 Mei 1980

Bersakit-sakit Dahulu, Net Eksportir Minyak Kemudian

Industri Migas di Brazil

Industri migas di Brazil berangkat dari keprihatinan dimana berdasarkan hasil survey di darat (onshore) tahun 1960-an, tidak banyak ditemukan cadangan migas di sana. Menyadari sebagai negara miskin minyak, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang intinya mencari cara supaya minyak digunakan lebih efisien dan sedapat mungkin beralih dari minyak.

Dalam rangka mengurangi pengeluaran untuk impor minyak, pemerintah memutuskan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang diharapkan dapat mengurangi kebutuhan minyak pada pembangkit listrik di masa akan datang, membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan meluncurkan program bahan bakar ethanol terbesar di dunia.

Pajak bahan bakar minyak ditingkatkan untuk mendorong efisiensi energi dan menghindari pemborosan bahan bakar minyak.

Pemerintah pada saat yang sama mendorong Petrobras untuk mempercepat program pemenuhan kebutuhan minyak untuk keperluan domestik. Menyadari tidak ada prospek migas di onshore, Petrobras beralih ke lepas pantai (offshore). Campos Basin ditemukan pada 1974, pengusaan teknologi lepas pantai dimulai dengan lokasi dangkal (shallow water), yang kemudian dilanjutkan dengan laut dalam (deep water).

Pada 1995 terjadi deregulasi untuk sektor migas. Petrobras di privatisasi, hak monopolinya dicabut. Pemerintah mendirikan National Petroleum Agency (ANP) yang bertanggung jawab terhadap urusan penawaran wilayah kerja dan mengatur kegiatan baik hulu dan hilir.

Deregulasi ini bertujuan agar Petrobras terbiasa berkompetisi, meningkatkan transparansi fiskal dan mengundang investor asing di sektor migas. Kegiatan eksplorasi meningkat sehingga terjadi banyak temuan cadangan minyak besar pertengahan tahun 2000-an dari lokasi laut dalam.

Prinsip “bersakit-sakit dahulu” ini berbuah sukses. Padahal 32 tahun yang lalu, produksi minyak di Brazil hanya 200 ribu barel per hari, sementara konsumsi minyak mencapai 1,2 juta barel per hari. Saat ini, Brazil menjadi negara net eksporter minyak dan produksinya akan cenderung terus meningkat dekade ke depan dengan berproduksinya lapangan-lapangan baru dari lokasi laut dalam tersebut.

Pada sistem konsesi di Brazil, IOC yang memperoleh konsesi diwajibkan untuk menginvestasikan 1% dari pendapatan bruto suatu lapangan untuk kegiatan riset dan pengembangan. Dana tersebut dialokasikan masing-masing 50% untuk riset pada perusahaan tersebut dan 50% oleh perguruan tinggi dan institusi riset nasional. TIdaklah mengherankan kalau saat ini Petrobras menjadi salah sati “penguasa” teknologi eksplorasi dan produksi migas di laut dalam.


Benny Lubiantara, Ekonomi Migas Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, 2012.