Frontotemporal dementia (demensia frontotemporal atau FTD) adalah jenis demensia yang memengaruhi lobus frontal dan temporal otak, yakni otak bagian depan dan samping sehingga menimbulkan gangguan pada kepribadian, perilaku, dan kemampuan berbahasa.
Orang yang mengalami penyakit ini, bagian dari otak yang terkena akan mengalami penyusutan. Gejala yang ditimbulkan hampir serupa dengan masalah kejiwaan, sehingga sering kali salah diagnosis.
Selain area otak yang terkena, yang membedakan demensia ini dengan jenis lainnya adalah rentan menyerang orang yang berusia lebih muda, yakni sekitar 40 hingga 65 tahun. Sementara demensia jenis lain biasanya menyerang orang yang berusia 65 tahun ke atas.
Dikutip dari situs John Hopkins Medicine, ada beberapa jenis frontotemporal dementia (demensia frontotemporal), yakni:
FTD varian depan. Tipe FTD yang lebih memengaruhi perilaku dan kepribadian.
Afasia progresif primer. Afasia artinya kesulitan berkomunikasi dan tipe FTD ini terbagi lagi menjadi dua, yakni Afasia nonfluen progresif, yang memengaruhi kemampuan berbicara. Satu tipenya lagi adalah demensia semantik, yang memengaruhi kemampuan menggunakan dan memahami bahasa.
Tipe FTD lainnya. Tipe ini sangat langka dan memengaruhi gerakan tubuh, sehingga menimbulkan gejala yang mirip dengan penyakit Parkinson dan penyakit (Amyotrophic lateral sclerosis/ALS) atau dikenal dengan penyakit Lou Gehrig.
Seberapa umumkah penyakit ini?
Frontotemporal dementia (demensia frontotemporal) adalah jenis demensia yang cukup jarang menyerang lansia, ketimbang jenis lain, seperti penyakit Alzheimer, demensia lewy body, dan demensia vaskular.
Selain rentan menyerang orang yang berusia lebih muda, jenis demensia ini juga lebih sering ditemui pada wanita dibanding pria.
Tanda dan gejala frontotemporal dementia
Tanda dan gejala frontotemporal dementia dapat berbeda dari satu individu ke individu lainnya. Gejala semakin memburuk dari waktu ke waktu, biasanya selama bertahun-tahun.
Berikut ini adalah tanda dan gejala demensia frontotemporal yang umumnya terjadi:
Perubahan perilaku
Gejala demensia jenis ini yang paling umum melibatkan perubahan ekstrem dalam perilaku dan kepribadian, yang meliputi:
Kehilangan empati dan keterampilan interpersonal lainnya, seperti kepekaan terhadap perasaan orang lain.
Kurangnya penilaian dan kehilangan minat pada sesuatu yang sebelumnya disukai.
Perilaku kompulsif yang berulang-ulang, seperti menepuk atau menampar bibir.
Tidak peduli dengan kebersihan diri.
Perubahan kebiasaan makan, makan berlebihan atau menjadi suka makanan manis atau tinggi karbohidrat.
Suka memasukkan benda-benda yang bukan makanan ke mulut.
Kemampuan berbahasa dan berbicara bermasalah
Kesulitan dalam menggunakan dan memahami bahasa tulisan maupun lisan. Sebagai contoh, kesulitan menemukan kata yang tepat untuk digunakan dalam ucapan atau penamaan objek.
Berbicara terbata-bata atau membuat kesalahan ketika mengucapkan suatu kalimat, sehingga menjadi acak.
Sistem gerak bermasalah
Mengalami masalah pada sistem gerak, di antaranya koordinasi tubuh memburuk, kesulitan menelan, tremor, otot kaku dan kejang.
Penyebab frontotemporal dementia
Penyebab utama frontotemporal dementia (demensia frontotemporal) tidak diketahui pasti. Namun, hasil pencitraan menunjukkan pasien yang mengidap penyakit ini akan mengalami penyusutan ukuran lobus frontal dan temporal otak.
Selain itu, ditemukan juga penumpukan zat tertentu di otak. Akan tetapi, mekanisme perubahan ukuran otak akibat penumpukan zat tidak diketahui secara pasti.
Peneliti juga menemukan adanya kaitan antara jenis demensia ini dengan riwayat kesehatan keluarga dengan penyakit serupa, penyakit akibat kelainan genetik, dan penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS).
Faktor risiko frontotemporal dementia
Faktor risiko dari frontotemporal dementia (demensia frontotemporal) adalah genetik, yakni berisiko tinggi terjadi ketika ada anggota keluarga yang memiliki penyakit ini.
Pencegahan frontotemporal dementia
Penyakit frontotemporal dementia (demensia frontotemporal) berkaitan dengan mutasi gen yang mungkin diwariskan orangtua. Tidak ada tindakan pencegahan yang bisa dilakukan untuk menurunkan risiko penyakit ini.
sumber: Hellosehat